
Dari atas bukit terpampang panorama Pantai Bangkete, Distrik Mabkbon, Sorong (doc: Mantah/petarung)
SIANG itu, Rabu, 3 September 2025, pukul 16:31 waktu Papua, Pantai Bangkete menyambut kami dengan cahaya matahari yang berkilau. Laut memantulkan sinarnya seperti lembaran kaca raksasa, sementara sayup pelangi melengkung lembut, menorehkan keindahan di atas permukaan air.
Pantai Bangkete terletak di Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya. Dari Sorong, perjalanan darat memakan waktu sekitar dua jam menuju pesisir yang masih alami ini.
Bangkete dikenal masyarakat Moi sebagai salah satu pantai sakral, tempat di mana laut, gunung, dan hutan saling berpelukan dalam harmoni.
Seekor anjing datang mendekat, seakan ingin memperkenalkan diri, ikut menjadi bagian dari kisah kecil kami di tepian pantai. Hamparan pasir putih terbentang luas, dan di kejauhan perahu layar berlayar mencari ikan.
Pulau Um tampak seolah mengapung abadi di tepi pantai Kampung Malaumkarta yang menghadap ke Samudera Pasifik, setia menjadi penanda waktu yang tak pernah berhenti.
Beberapa perahu kecil beristirahat di tepi, menanti nelayan yang akan kembali berlayar. Dari rumah wisata, dua anak muda, Yehuda Tahrin dan Florin Tahrin, sibuk memotret panorama laut biru nan eksotis. Mereka berlarian mengejar ombak, seakan berdialog dengan lautan yang tak pernah lelah bernyanyi.
Dari kejauhan, sebuah pohon mangga tua berdiri miring ke arah pantai. Diam, setia, namun selalu hadir sebagai saksi gelombang yang datang silih berganti. Sesekali, suara truk terdengar melintas di jalan raya menuju pusat Kabupaten Tambrauw, sebuah pengingat bahwa kehidupan manusia tetap berjalan, beriringan dengan alam.
Gunung Matugli dan Mablo menjulang gagah. Hutan-hutannya masih asli, memberi napas bagi segala kehidupan. Dalam bahasa Moi, Matugli berarti “perempuan bernyanyi”. Ini disamakan dengan burung cenderawasih yang setiap sore turun dari puncak menuju laut, lalu kembali lagi ke ketinggian, menari dalam siklus abadi.
Cahaya laut berkilau di Teluk Dorei, diapit barisan gunung yang indah, seolah menjadi benteng alami penjaga tanah Moi. Dari tepian, burung Kontait bersuara, seakan leluhur tanah ini ikut menyambut kami.
Di sudut lain, bangku-bangku semen tersusun rapi, menanti siapa pun yang ingin duduk dan meresapi keindahan.
Tak lama, hujan Makbon turun. Sejuk, menyapa, sekaligus memberi tanda bahwa saatnya kami melanjutkan perjalanan. Dari Bangkete, langkah membawa kami ke Kampung Kuwadas.
Di langit senja keemasan, ribuan kelelawar berhamburan keluar untuk mencari makan dari Pulau Um, mengepakkan sayap, mencari malam mereka sendiri. Um berarti kelelawar dalam bahasa Moi. Pulau ini menjadi rumah bagi ribuan kelelawar yang tidur di saat siang.
Jalan berkelok membawa kami mendaki gunung yang dikenal sebagai “gunung es”. Bentuk jalannya melingkar seperti huruf S, dan di puncaknya, suara burung menggema lantang dari rimbun pepohonan. Sebuah salam perpisahan dari alam, seolah berkata bahwa mereka pun harus kembali ke sangkar.
Di tepi lain, pohon kelapa membungkuk ke laut, seakan ingin lebih dekat mendengar nyanyian ombak. Suara itu bagai kidung penghibur para leluhur di tanah Moi, terutama di gunung Malagleng.
Tuhan sungguh baik. Menciptakan tanah ini dan menempatkan suku Moi sebagai bagian dari suku-suku bangsa Papua di bumi yang indah. Cerita-cerita alam tetap hidup dalam adat istiadat, menautkan manusia dengan hutan, tanah, dan leluhur.
Kami sempat singgah di Bangkete, Kuwadas, Migi, dan Sawatuk. Semuanya adalah surga kecil yang jatuh ke bumi. Perjalanan kami berakhir pada pukul 18:11 WIT, namun kisah perjalanan ini begitu berkesan. Tetap tertinggal dalam hati dan ingatan.
Sebab setiap suku di tanah Papua memiliki relasi unik dengan alam. Dari sini, tanah Moi seolah membisik satu pesan abadi: “Jaga alam, maka alam akan menjaga kita !!!”
(*) Imanuel Tahrin adalah penulis kisah perjalanan ini. Dia adalah aktivis lingkungan, pemerhati budaya, pendiri komunitas Peduli Tata Ruang (Petarung) Papua yang berbasis di Kampung Susumuk, Distrik Aifat, Maybrat.