
Kawasan hutan di Maybrat (doc: Petarung)
Maybrat, Papua Barat Daya – Siang menjelang di Kampung Susumuk, Distrik Aifat, Senin, 14 Juli 2025. Di tengah terik mentari pada pukul 1 siang waktu Papua, langit biru nan cerah tanpa cela, tampak membentang di angkasa.
Awan putih berarak pelan diantara bentangan langit biru. Seolah turut memberkati perjalanan kami hari itu. Pertanda cuaca bersahabat dengan jiwa-jiwa yang hendak melangkah dalam iman.
Kami, para pemuda dan pemudi Persekutuan Anggota Muda (PAM) Jemaat Emaus Susumuk, berkumpul di halaman gereja.
Hati kami menyatu dalam satu semangat: melakukan perjalanan ibadah PAM tingkat Klasis, menuju Jemaat Ebenezer Fuog, tanah yang jauh di seberang belantara. Gedung gereja yang dituju berada di Kampung Fuog yang berada di Distrik Aifat Selatan.
Dua mobil Hilux dan satu Avanza menjadi perahu darat kami.
Dalam perjalanan ini, kami melintasi hutan dan dua kampung tua: Sory dan Sabah, hingga tiba di Kampung Tahsimara, persimpangan menuju Kampung Fuog.
Di sana, jemaat tuan rumah menawarkan dua pilihan: kami bisa menyusuri Kali atau Sungai Kamundan dengan perahu atau melanjutkan perjalanan darat. Sebagian dari kami tergoda oleh Kali Kamundan yang tenang dan memantulkan bias cahaya langit.
Tapi tak sedikit pula dari kami yang ragu. Lantas, kami sepakat: perjalanan ini akan kami tuntaskan lewat darat.
Karena jalan yang rusak parah, kami harus memarkir mobil Avanza di Kampung Tahsimara. Jadi penumpangnya berdesakan naik ke dua Hilux yang tersisa.
Jalan menuju Fuog bukan sekadar lintasan, tapi tantangan iman. Hutan belantara terbentang. Pepohonan Agatis berdiri angkuh di sisi jalan seperti malaikat penjaga. Jurang-jurang terjal dan tanjakan rusak menjadi ujian iman bagi semangat kami.
Di dalam mobil, kami duduk berdempetan. Namun, tak ada keluh kesah. Tawa, lagu pujian, dan semangat menjadi pengikat yang lebih kuat dari tali pengaman. Kami melintasi setiap lubang dan batu dengan satu niat: menyembah Tuhan.
Akhirnya, setelah menempuh perjalanan darat yang cukup menantang selama beberapa menit, kami pun tiba di Kampung Fuog, di Jemaat GKI Ebenezer. Dalam Alkitab, Ebenezer berarti, “sampai disini Tuhan menolong kita”. Nama yang tepat untuk perjalanan kami.
Disini, ibadah berlangsung dengan khusyuk. Waktu seolah berhenti saat puji-pujian menggema di antara dinding gereja dan langit terbuka. Hingga matahari mulai tenggelam, pukul 18.00 waktu Papua, kami bersiap kembali.
Tapi langit yang semula cerah berubah muram. Di tengah perjalanan, hujan deras turun. Mengguyur membasahi jalanan, hutan dan perbukitan yang harus kami tempuh untuk pulang.
Kami semua basah kuyup, tapi semangat kami tetap menyala. Di perjalanan pulang, kami bertemu tiga mobil tertanam di lumpur: dua Avanza dan satu pick-up yang terjebak.
Dengan tali, kami menarik tiga mobil ini satu per satu ke luar dari lumpur. Menyatukan daya, semangat dan membagi tenaga. Situasi ini menambah kesan perjalanan, perjuangan dan petualangan.
Akhirnya, dengan rasa lelah bercampur rasa kantuk dan pakaian yang masih terasa basah di tubuh, pukul 2 tengah malam, kami tiba kembali di Kampung Susumuk. Lelah, basah, tapi bahagia.
Kami pulang membawa cerita iman. Bukan hanya untuk dikenang, tapi juga untuk disuarakan. Semoga pemerintah membuka mata atas kondisi jalan yang kami lalui. Agar hasil bumi, bahan bangunan, dan kehidupan dari pelosok ini bisa mengalir lebih mudah.
Karena iman tidak hanya perlu dipelihara dalam doa. Tapi juga disokong oleh kebijakan yang peduli oleh Pemerintah dan berbagai pihak. Semoga…. (Imanuel Tahrin)