Para Tapol NRFPB di Sorong saat diangkut mobil tahanan Polres Kota Sorong (doc: solidaritas)
Sorong, Papua Barat Daya – Di balik langit Sorong yang sore itu terlihat cerah dan damai, ada empat jiwa yang menunggu waktu dengan napas yang kian sesak.
Mereka bukan pelaku kejahatan kekerasan, bukan koruptor pencuri uang rakyat, bukan pula pengedar narkoba.
Mereka adalah empat Tahanan Politik (Tapol) Negara Federal Republik Papua Barat (NRFPB): Abraham Goram Gaman, Nikson May, Piter Robaha, dan Maxi Sangkek.
Sejak 28 April 2025, hidup mereka terhimpit dalam sel berukuran sempit di Rumah Tahanan Polresta Sorong Kota. Tiga puluh orang berbagi udara di ruang yang seharusnya hanya menampung separuhnya.
Di kala siang hari, panas menusuk ke jantung. Malam hari udara lembab memeluk kulit, menerobos ke sumsum dan tulang. Sudah begitu, ruangan sering terasa pengap karena dipenuhi asap rokok yang dihisap para tahanan.
Bagi Maxi Sangkek dan Abraham Goram Gaman, penderitaan itu bukan hanya soal kehilangan kebebasan. Paru-paru mereka yang rapuh kini harus bergulat dengan asap rokok dan udara pengap. Maxi sempat batuk darah.
Abraham pun kembali terjangkit penyakit paru-paru yang pernah ia derita. “Bapa ini de punya sakit paru-paru bawaan baru tambah de di ruangan sempit seperti itu, pasti de punya sakit tambah parah,” lirih istri Bram Goram saat itu.
Saat didampingi anak lelakinya dan keluarga, mata istri Abraham Goram berkaca-kaca, suaranya bergetar di antara rasa marah dan cemas, menceritakan penderitaan yang dialami suaminya bersama ketiga tahanan politik lainnya.
Pada 16 Juni 2025, keluarga mencoba memberi sedikit harapan. Maxi dan Abraham dibawa ke Poliklinik Bintang Timur. Namun setelah diperiksa, mereka dikembalikan ke sel. Permohonan penangguhan penahanan, yang disertai jaminan KTP keluarga, tak pernah mendapat jawaban.
Maxi hanya berharap bisa pulang sementara untuk berobat. “Setelah sembuh sa pasti balik. Tidak mungkin sa lari. Kita ini orang tua jadi siap bertanggungjawab,” ucapnya pelan saat itu.
Namun bukannya pulang, ia justru dipindahkan ke ruang Kepala Urusan Pembinaan (KBO) – ber-AC, minim ventilasi. Alih-alih menyejukkan, ruangan itu memperburuk kondisi paru-parunya. “Sejak dong kasi pindah sa kesini, sa tra pernah istirahat baik,” tambahnya.
Keempat tahanan ini awalnya kooperatif memenuhi panggilan polisi. Namun pemeriksaan kedua yang memakan waktu sembilan jam berujung pada penetapan tersangka dengan tuduhan makar.
Bukti yang disita, mulai dari baju berlogo NRFPB hingga dokumen organisasi, disebut polisi mengindikasikan adanya “struktur kenegaraan tandingan.” Tapi Yan Christian Warinussy, Direktur LP3BH Manokwari yang menjadi penasihat hukum mereka, menyebut tuduhan ini “prematur.”
Menurutnya, kliennya hanya mengantarkan surat berisi solusi damai konflik Papua kepada Gubernur, Wali Kota, dan Polresta Sorong. “Surat serupa di kota lain tidak berujung penangkapan,” ujarnya.
Rencana Pemindahan Sidang: Jauh dari Locus Delicti
Di tengah polemik kesehatan dan proses hukum yang dipertanyakan, Kejaksaan Negeri Sorong mengumumkan rencana memindahkan persidangan ke Makassar. Alasannya sederhana: demi keamanan.
Namun fakta di lapangan berbicara lain. Kota Sorong aman, tak ada kerusuhan massal, ancaman serius, atau bencana alam yang menghalangi sidang.
Menurut keluarga dan pendamping hukum, langkah ini bukan hanya melemahkan hak terdakwa untuk diadili dekat dengan lokasi perkara, tetapi juga mengisolasi mereka dari dukungan keluarga, pendamping, dan publik.
“Ini akan membuat mereka makin terisolasi, jauh dari keluarga, pantauan mata publik dan jauh dari sorotan. Apalagi kondisi kesehatan mereka sudah memprihatinkan,” tegas pernyataan sikap Solidaritas Rakyat Papua Pro-Demokrasi se-Sorong Raya.
Polemik ini bukan sekadar perdebatan hukum. Ini adalah cermin bagaimana hukum bisa menjadi alat yang membungkam, ketika kemanusiaan dipinggirkan. “Bapa ini ketua RT dan kepala suku di Kilo 13, jadi tidak mungkin mau melarikan diri,” sanggah istri Maxi Sangkek, menepis alasan kekhawatiran aparat.
Namun suara-suara seperti ini seringkali tenggelam di antara retorika stabilitas dan penegakan hukum.
Kasus empat Tapol NRFPB di Sorong mengingatkan bahwa keadilan bukan hanya soal memenangkan perkara. Tapi memastikan kemanusiaan tetap hidup di setiap prosesnya.
Apakah negara dan Pemerintah Indonesia akan mendengar jeritan ini, atau membiarkannya larut di balik jeruji besi yang kian menua?
Karena, seperti yang diingatkan banyak pegiat HAM: hukum tanpa kemanusiaan hanyalah kekerasan yang dilegalkan. (Julian Haganah Howay)
