
Bandara Sugapa, Intan Jaya (doc: Zename)
INI adalah cerita lanjutan dari “Emas Nabia” Bagian Pertama. Sebuah cerita yang menggambarkan situasi Papua yang sedang berada di persimpangan jalan. Di persimpangan takdir.
Kau bangun pagi di sebuah kamar hotel yang tenang, tapi jangan tertipu oleh keheningan semu yang mengelilingimu.
Hotel ini berdiri di tepi perempatan besar, tempat Jalan Trans Lintas Mepagoo bersilang dengan Trans Papua Barat, dan dua jalan lainnya mengarah ke pusat kota Nabire.
Seperti yang kuanjurkan dari awal, kamarmu memang di bagian belakang. Jauh dari hiruk-pikuk depan hotel yang penuh lalu lalang manusia dan kendaraan.
Di luar, kehidupan bergolak tanpa henti. Deru truk pengangkut barang yang mengantre bahan bakar, orang-orang yang menuju tempat pendulangan rakyat di Topo dan Dogiyai, bahkan geliat gelap jual beli narkoba, minuman keras, dan jasa tubuh yang berlangsung terang-terangan di sekitar hotel.
Seberang jalan, proyek pembangunan hotel baru sedang berlangsung. Di sebelah barat, rumah makan dan karaoke yang tak pernah sepi malam hari. Deretan ruko, bengkel, pertamini, supermarket, dan toko mebel menghiasi jalan Trans Meepago. Semua bercampur aduk dalam satu simfoni keras kehidupan.
Pagi pun datang, dan setelah mandi serta berkemas, seperti yang kusarankan, kau menunggu mobil di depan hotel. Jalan sudah kembali ramai. Mobil datang, dan sopir yang sama hari sebelumnya menyapamu ramah. Perjalanan ke bandara dimulai, tapi seperti biasa, basa-basi pun dimulai.
Ia bertanya tentang siapa kamu, darimana asalmu, tujuanmu di Papua, dan hendak ke mana setelah ini. Namanya, anggap saja Joko, atau siapalah, tak penting sebenarnya.
Namun satu hal: jangan terlalu terbuka.
Kau mungkin menganggapnya hanya sopir. Tapi kami di sini terbiasa curiga. Di Papua, banyak hal yang tidak seperti terlihat. Bisa jadi si Joko adalah Banpol, intel, atau bahkan tentara berpakaian sipil. Ya, di sini militer menyaru dalam segala bentuk kehidupan sipil.
Mereka tak lagi sekadar di barak. Mereka adalah pemilik proyek, buruh bangunan, operator alat berat. Mereka menjalankan rumah makan, kios bensin, warung kopi, rental mobil, bahkan bisnis prostitusi dan perjudian.
Mereka agen travel, perawat di rumah sakit, pengelola distribusi BBM dan hasil hutan. Mereka dosen, guru, pembina organisasi mahasiswa, bahkan penceramah dan pendeta. Mereka hadir di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Ada pula yang menjadi presiden. Yang terbaru? Mereka bertani dalam proyek “ketahanan pangan nasional” dengan seragam lengkap. Artinya, kalau kamu ingin jadi petani, ya masuklah akademi militer dulu.
Itu bukan lelucon. Itu kenyataan yang sudah dinormalisasi.
Sampailah kau di Bandara Nabire. Menuju loket, dan ya jangan kaget. Harga tiket ke Intan Jaya Rp2.500.000. Tiket subsidi? Sudah habis diborong calo. Naiklah pesawat kecil Cessna, dan dalam 40 sampai 60 menit, kau akan tiba di sebuah dunia yang sama sekali berbeda: Sugapa, Intan Jaya, Papua Tengah.
*****
Selamat datang di Bandara Sokopaki, Sugapa. Begitu kakimu menjejak aspal, udara dingin pegunungan langsung menyergap. Tapi jangan biarkan pemandanganmu hanya tertuju ke awan dan gunung. Di sekelilingmu, aktivitas militer seperti tak pernah tidur.
Dua hingga tiga truk parkir di samping runway. Puluhan aparat bersenjata berjaga. Beberapa berdiri santai, beberapa duduk memegang senapan panjang. Di pos kecil yang mengapit pagar setinggi tiga meter, satu peleton siaga penuh.
Jangan salah sangka, tak ada kejadian luar biasa. Ini rutinitas harian. Pemandangan normal. Rilekslah, meski perutmu bergejolak. Tegang sedikit saja bisa membuatmu jadi sasaran kecurigaan.
Naik bukit kecil, tinggalkan landasan, dan berdirilah di perempatan Bandara Sokopaki Bilogai. Tukang ojek dengan motor Ferza menawar tumpangan. Kurir barang lalu lalang, calo agen teriak menawarkan tiket ke Nabire atau Timika. Pegawai dinas, masyarakat, polisi, tentara, semua berbaur dalam satu denyut kebutuhan akan penerbangan tercepat.
Mama-mama Papua duduk beralaskan karung, menjual hasil bumi: sayur, buah, tembakau dan daun linting. Kau lihat sendiri lima pos militer berdiri tak jauh dari situ, belum termasuk pos yang tak terlihat.
Di atasmu, dengung mesin kecil: itu drone pengintai. Jangan ditengok. Abaikan saja. Ia akan terus terbang hingga sore.
Pemandangan ini langka, tapi tak asing di Papua. Bandara seperti ini hanya ada di pegunungan: Nduga, Puncak, Pegunungan Bintang, Yahukimo. Di sanalah, ekonomi, budaya, dan keamanan bersatu dalam ketegangan yang tak kasat mata.
Kau boleh bercerita padaku nanti tentang apa yang kau lihat, apa yang kau rasa, apa yang mungkin tak akan bisa kau pahami sepenuhnya.
Ambil ponselmu. Swafoto sebentar. Sugapa. Mungkin nama ini singkatan dari “Surga Papua” tempat yang indah tapi penuh tanda tanya. Jika fotomu menghadap selatan, latar belakangnya adalah Gunung Soali: angkuh, murung, dan tertutup kabut.
Menurut masyarakat setempat, Soali adalah sosok perempuan yang sakit hati. Ditinggalkan? Diduakan? Tak ada yang tahu pasti. Cerita rakyatnya lahir dari interaksi spiritual dan sosial selama turun-temurun.
Cuacanya tidak tunduk pada musim. Mendung kapan saja, cerah hanya sesaat. Seolah-olah Soali menyimpan rahasia yang tak ingin ia bagi kepada siapa pun.
Gunung itu menolak bahagia palsu. Menolak pembangunan yang menjanjikan kesejahteraan tapi membawa luka. Menolak dana desa tanpa realisasi. Menolak tunduk pada Jakarta. Ia tetap murung. Mungkin akan begitu selamanya hingga kiamat menjemput.
Namun jika kau membalik arah dan berfoto menghadap Soali, maka di belakangmu akan menjulang Gunung Bula: keras, cadas, dan penuh dengan garis-garis oranye.
Bukan sembarang garis. Itu bekas longsor. Pada 6 Februari 2024, dalam dua hari, tanah runtuh di berbagai titik sekaligus. Lima warga tewas tertimbun. Dua ratus lebih mengungsi dari Joparu, Bulagi, dan Wandoga. Keindahan yang rapuh, tanah yang terluka.
Sugapa bukan hanya terminal menuju tambang emas. Ia adalah gambaran rumit dari Papua hari ini di mana keindahan alam bersisian dengan luka sejarah, kekayaan berdampingan dengan kemiskinan struktural, dan pembangunan berlangsung dalam bayang-bayang senjata.
Kau boleh menyebut ini sebuah paradoks. Tapi bagi kami, ini kenyataan. Dari bandara ke gunung, dari mama-mama yang menjajakan tembakau hingga drone yang terbang di atas kepala, semuanya adalah bagian dari sistem yang mengatur bagaimana Papua dibaca, dijaga, diawasi, dan dalam banyak hal ditaklukkan.
Dan mungkin, cerita ini baru permulaan.
Amban, Mnukwar, akhir Juli 2025
Zename