
Gambar ilustrasi Mace Lussy sedang duduk di sisi tembok sebuah pantai (ChatGPT Image Generate).
KEESOKAN harinya, cuaca di Kota Sorong benar-benar cerah. Langit membentang biru tanpa cela, hanya beberapa gumpalan awan tipis menghiasi cakrawala. Angin berhembus pelan membawa aroma laut yang segar.
Hari itu, Senin, 17 Maret 2025, saya kembali menyusuri jalanan kota dengan motor tua yang setia menemani. Tujuannya masih sama, menjelajah pantai reklamasi Tembok Berlin. Hati saya berharap, senja ini, Lussy akan kembali.
Sesampai di pantai sekitar pukul 16:45 sore, suasana tak jauh berbeda dengan hari sebelumnya. Riuh suara anak-anak bermain di tepi air, tawa para remaja yang berswafoto, dan suara debur ombak yang perlahan menepuk dinding tembok reklamasi menjadi latar yang akrab.
Tapi ada yang sedikit berbeda di hati saya, semacam penantian yang tak biasa. Saya duduk di bangku yang sama seperti kemarin. Pandangan saya menyisir sepanjang tembok, mencari sosok perempuan bergaun merah tua dengan rambut kribo mengembang itu.
Hati saya sempat gusar, tapi tak lama, dia muncul. Kali ini ia mengenakan blus putih dan celana panjang hitam. Tas kain digantungkan di bahu kirinya, rambutnya masih sama: liar, indah, penuh karakter.
Lussy berjalan mendekat. Senyum itu, senyum yang semalam membekas hingga terbawa mimpi. Ia melambaikan tangan padaku dan berkata, “Kaka ko datang duluan ka? Sa kira kaka tra datang!”
Saya tertawa kecil, “Aduh, kalo Lussy bilang datang, masa sa mo tinggal diam di rumah?”
Kami pun duduk berdampingan. Ia mengeluarkan buku dari dalam tas. Judulnya Papua, Tanah yang Terluka Tapi Tak Menyerah karya para penulis muda Papua. “Sa lagi baca ini, kaka. Tulisan-tulisan anana Papua yang menolak lupa. Bagus nih. Dong tulis pengalaman, sejarah, dan perjuangan,” katanya pelan.
Saya mengangguk pelan, lalu menimpali, “Itu bagus. Harus banyak orang Papua yang menulis tentang Papua, bukan orang luar saja yang datang lalu klaim tahu segalanya.”
Lussy tersenyum bangga. “Sa juga mo tulis cerita. Cerita pendek atau cerpen tentang mama-mama Papua yang jual pinang di pasar, tentang anak-anak sekolah di kampung yang harus jalan kaki dua jam. Cerita yang sederhana, tapi itu kehidupan asli kami.”
Percakapan kami terus mengalir dan akrab diantara deburan riak-riak kecil yang menyapuh tembok pantai.
Di tengah suasana sore yang romantic itu, kami bicara tentang pendidikan di pedalaman Papua Selatan yang belum merata, tentang perusahaan-perusahaan yang masuk tanpa menghormati tanah adat, dan tentang mimpi-mimpi yang harus terus diperjuangkan.
“Tadi di sekolah, sa ditanya satu murid. ‘Bu guru, kalo nanti sa besar, bisa jadi pilot kah?’” ucap Lussy dengan mata berbinar. “Sa jawab, ‘Bisa. Tapi harus rajin belajar. Harus tahu sejarah tanahmu juga, supaya ko jadi pilot yang tahu arah pulang.’”
Saya terpukau. Kalimatnya sederhana, tapi sarat makna. Lussy bukan sekadar guru, ia seperti lentera kecil di tengah malam panjang Papua.
Tiba-tiba ia menarik napas panjang dan menghelanya. “Tadi siang, sa lihat berita. Ada perusahaan yang masuk ke kampung-kampung di Merauke. Katanya mau bangun kebun tebu untuk bioetanol. Tapi itu di atas tanah ulayat! Tong pu hak adat makin lama makin tergeser.”
Saya langsung teringat satu berita yang saya baca pagi tadi tentang Proyek Strategis Nasional di Merauke. Tentang 75 keluarga yang tanahnya diambil tanpa persetujuan. Hati saya mendidih. “Mereka pikir tanah ini kosong, padahal setiap jengkalnya ada sejarah, ada roh leluhur, ada kehidupan,” ujarku penuh emosi.
Lussy mengangguk pelan. “Makanya kita harus bicara. Harus lawan. Dengan tulisan, dengan suara, dengan pendidikan.”
Senja mulai turun pelan. Langit berwarna jingga keemasan, sama seperti kemarin. Tapi sore ini terasa berbeda. Lebih dalam. Lebih bermakna.
Saya menatap Lussy dengan romantis. Dalam diam, saya tahu bahwa saya tak hanya bertemu perempuan yang cantik dan cerdas, tapi juga seseorang yang sedang membawa cahaya di tengah gelapnya luka Papua.
Ketika cahaya mulai memudar, ia pun berdiri. “Sa pulang dulu ee.., kaka. Besok pagi sa harus ke sekolah. Tapi kalo kaka mau, kita bisa ketemu lagi. Cerita-cerita begini bikin hati tenang,” katanya sembari menatapku lembut.
Saya mengangguk. “Oke, besok sa datang lagi. Kalo cuaca bagus…”
“Bukan soal cuaca, kaka,” potongnya cepat. “Kadang, meskipun langit mendung, tapi kalau hati terang, semua jadi indah.”
Ia melangkah pergi, meninggalkan saya yang masih terdiam di bangku tua itu. Tapi kali ini tidak ada rasa sepi, hanya keyakinan bahwa pertemuan-pertemuan seperti ini adalah awal dari perjalanan yang lebih panjang.
Dalam hati saya tahu, Mace Lussy bukan sekadar perempuan di ujung senja. Ia adalah suara dari tanah yang tak pernah diam.
(*) Cerita bagian II ini dilanjutkan oleh Julian Haganah Howay dari bagian I “Mace Lussy di Ujung Senja” yang ditulis Ebis Marshall pada link ini : https://wenebuletin.com/buku-sastra/mace-lussy-diujung-senja/