
Gambar ilustrasi (doc: wenebuletin)
MALAM itu menusuk tulang. Udara dingin dan lembap tak mampu menghalangi langkahku. Dari rumah di perbukitan, aku turun menembus gelap, menempuh 22 kilometer menuju rumah sakit.
Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Jalanan sepi. Hanya deru kendaraan dan debu polusi yang menyapa paru-paru. Tapi saya tetap berjalan dengan satu niat di hati: menyembuhkan. Menolong. Menjadi tangan-tangan kasih bagi yang berjuang melawan sakit mereka.
Pukul sembilan malam saya tiba. Bergegas ke ruang absen, lalu langsung menuju Ruang Tulip, tempat kerjaku. Dua sejawat sudah lebih dulu tiba. Saya pun menyapa dengan senyum.
“Selamat malam yang ganteng dan cantik!”
Aku meletakkan tas, menenangkan napas, lalu berdoa dalam hati.
“Tuhan, terima kasih karena Engkau sudah bawah saya sampai di sini dengan selamat. Berikan saya hati yang damai, sukacita, dan hikmat untuk menjalankan tugas malam ini. Amin!”
Tugasku malam itu di ruang penyakit dalam dan bedah, pasien BPJS kelas 3. Kami mulai meracik obat suntik malam, obat pagi, dan obat minum. Saling melempar cerita sambil tertawa pelan.
Pukul sebelas, kami masuk ke kamar-kamar: menyuntik, memeriksa cairan infus, mengganti bila habis. Semua kami jalankan dengan penuh tanggung jawab dan cinta.
Pukul satu dini hari, tugas selesai. Sebagian keluarga pasien tertidur, sebagian lain berjaga sambil menyeruput kopi dan bermain kartu. Kami pun masuk ke ruang perawat, beristirahat.
Namun tidak lama kemudian, malam yang hening itu pecah oleh suara tangis:
“Mama… Mama… Mama bangun… Ade sayang Mama…, Ade tidak mau kehilangan Mama…”
Tangis seorang anak kecil. Perih dan menghujam jantung. Aku bangkit, keluar mencari sumbernya. Suara itu ternyata datang dari lantai dua, Ruang Aster. Aku berlari naik.
Sesampainya di sana, seorang suster sedang ditahan oleh suami pasien. Ia dituduh melakukan malpraktik. Suster itu bahkan ditampar, dituding sebagai pembunuh. Aku maju, meski suasana menegangkan.
“Suster, apa yang terjadi?”
“Pasien syok setelah disuntik, lalu hilang kesadaran,” jawabnya cepat.
Aku tak tinggal diam. Meski dimarahi dan dihalangi, aku melangkah masuk ke ruang pasien.
“Maaf, Pak, izinkan saya bantu.”
“Tindakan apa lagi? Istri saya sudah meninggal!” bentaknya.
Aku menatap matanya, menahan gemetar. Lalu berkata pelan tapi tegas:
“Bapak, tolong jangan panik. Kami hanya ingin menolong. Tenangkan diri dan berdoalah, izinkan kami bertindak.”
Aku dekati pasien, pegang tangannya yang dingin, dan dalam hati aku berseru:
“Bapa Kami yang di Surga…”
Kemudian saya lakukan resusitasi manual. Menekan dada 30 kali. Sekali. Dua kali. Lima belas…, dua puluh delapan…, tiga puluh!
Tiba-tiba, napas panjang! Pasien menarik napas. Matanya terbuka perlahan. Aku berteriak,
“Cepat, tensi! Cek gula darah! Naikkan oksigen 10 liter! Lapor dokter jaga!”
Kami bekerja cepat: mengguyur infus, memberi obat, stabilkan kondisi pasien. Dan aku terus bersyukur dalam hati:
“Terima kasih Tuhan, karena Engkau hadir di tengah kami malam ini.”
Ruang yang tadinya kacau berubah tenang. Suami pasien mendekat dengan mata berkaca-kaca.
“Saya mohon maaf. Karena panik, saya sudah menampar dan membentak kalian. Tapi suster sudah luar biasa. Istri saya selamat… Terima kasih.”
Pasien itu akhirnya pulih dan dinyatakan sembuh.
Beberapa hari kemudian, ia pulang dari rumah sakit, tersenyum, menggenggam tangan suaminya yang tak henti menoleh ke arah kami sambil membungkukkan badan.
Dalam setiap tugas kami, ada perjuangan. Ada air mata. Ada malam panjang yang dingin dan sunyi. Tapi dalam setiap langkah, kami tahu: kami tak sendiri.
Karena tugas ini mulia. Dan Tuhan selalu hadir, di sela-sela detak panik, di napas terakhir yang tertunda, di tangan-tangan kecil yang terus berdoa, berharap dan percaya.
Dari pengalaman ini, ada motivasi dan iman yang muncl.
Apa pun yang kita lakukan, andalkanlah Tuhan dalam segala hal. Karena dalam kelemahan dan situasi genting, Tuhan selalu hadir untuk memberi jalan.
Zuster Elis