
Gambar ilustrasi (doc: wenebuetin)
JUJUR saja, sa tra pernah sangka kalo sa bisa sayang ko sperti skarang ini. Dulu sa slalu pikir tentang hidup tanpa komitmen, dan slalu ejek sa pu teman-teman perempuan yang sedang jatuh cinta yang jadi tra mandiri, terlihat lamban dalam mengambil keputusan bahkan kadang terkesan menjengkelkan karena selalu rela berkorban untuk tidak melakukan semua kegiatan yang dorang suka hanya karena mereka su kenal mahluk bernama laki-laki.
Entah kenapa sa pu sahabat-sahabat perempuan Komin atau perempuan Papua yang hebat dan sangat cerdas di dalam berorganisasi tiba-tiba berubah jadi mahluk rapuh yang tak memiliki kemauan sama sekali dan menjadi seperti kerbau yang di cocok hidung hanya karena mereka tak mau di putuskan oleh pacar mereka.
Tapi bagi saya cinta yang membelenggu dan membuat sa jadi orang lain yang bukan diri saya, maka itu bukan cinta namanya. So, saya sering memutuskan untuk mundur dari hubungan demikian bahkan lebih sering menghindarinya agar sa tra terjebak di dalam hidup seperti itu.
*******
Hati
Rasa cinta ini tra pernah kasih stom, de mo singgah dimana
Hati seh……
Kalau mau jatuhkan pilihan ke seseorang
Setidaknya kasih kode ka
Kisah jatuh cinta kali ini memang beda..
Kali ini sa punya logika bilang salah
Tapi sa punya hati terus berdegup kencang tak karuan saat bertatapan dengan dia
sa pu logika jadi lumpuh
hanya rasa yang ada
deburan ombak di dada rebut sekali sampe kadang rasa sesak di dada
tiap kali tawa renyahmu sampai di telingaku
rasa rindu terus menggaruk rasa
hanya tuk sekedar lihat ko punya muka itu
Pusing sekali tapi trada daya lawan hati yang sedang jatuh ke dalam samudera cinta yang dalang ini…!
(Jayapura 6 Januari 2012).
*******
Susah juga kalau hati dan rasa yang su mendominasi logika. Cinta yang salah tempat dan salah waktu dengan orang yang salah.
Sebenarnya trada yang salah dengan cinta ini. Sah-sah saja sebenarnya.
Yang jadi masalah hanya usia saja. Tapi kitong dua su spakat kalo usia bukan masalah, kitong akan perjuangkan kitong dua pu cinta ini.
Tapi, sebagai orang yang lahir dalam suatu budaya dimana ada batasan yang tak bisa di langgar bahkan dianggap tabu, hubungan kita memang dianggap terlarang.
Sayang, sa juga menyesal dan slalu tanya sa pu hati kenapa harus pilih ko?
Macam trada orang lain saja! Kitong dua tra bisa pilih kitong lahir dalam suku mana.
Setelah kitong pu hati su saling baku sayang baru kitong menyesal lahir dalam sebuah suku yang menganggap kitong dua pu cinta terlarang.
Suku seh!
Sa dapat nasehat dari sa pu sahabat dekat “Naya, sa senang akhirnya ko ketemu orang yang benar-benar ko sayang, seorang laki-laki Papua!
Cuma masalahnya, kitorang ada di Wamena, say!
“Ko deng dia tra bisa bersama, kam dua tuh satu marga dan dalam torang pu budaya, itu Pabi[1] – terlarang –“! kata Linda.
“Betul sobat, sa sadar itu, tapi sa pu marga dengan dia khan beda huruf. Dia Tabuni, saya Alua. Itu khan aturan budaya karena mitos saja to?” Kata saya mencari pembenaran tentang rasa cinta yang sa rasa ke Peter Tabuni.
“Iyo itu betul sayang, sa mengerti apa yang ko rasa. Perasaan itu tidak salah, bahkan sah-sah saja. Tapi ko Perempuan Hubula yang biasanya kuat pegang budaya. Dalam budaya kita kawin dengan orang dalam satu rumpun marga yang sama itu khan ‘Pawi’ atau pamali!” Terang Linda panjang lebar.
Perdebatan tentang masalah Pabi ini mulai membuat saya tertarik, karena suatu saat sa pu mama tahu tentang hubungan sa dengan Peter dan melarang saya untuk melanjutkan hubungan terlarang menurut budaya tersebut.
Sedikit sekali yang saya tahu tentang masalah ‘Pawi’.
Dalam budaya masyarakat Pegunungan Papua, ada dua golongan besar rumpun marga yang disebut Waya dan Wita. Semua marga yang masuk dalam kategori Waya tidak bisa menikahi marga lain yang berada dalam kelompok Waya tetapi bisa menikahi orang yang berasal dari golongan marga dalam kategori Wita. Demikian sebaliknya.
Sa hanya tahu orang marga Waya yaitu: Wanimbo, Tabuni, Kogoya, Kilungga, Logo, Lokobal, Siep, Matuan, Soa, Alua, Huby, Hesegem, Halitopo, tra bisa baku kawin. Menurut budaya, pasangan kawin mereka adalah orang yang bermarga Itlay, Kossay, Babingga, Medlama, Wenda, Lagowan, Pabika, Helakombo, Asso, Wamo, Mabel, Lani, Yikwa dan sebagainya.
Itu saja yang sa tahu, tapi alasan di balik itu atau mitos yang mempengaruhi larangan tersebut, sa tra tau sama sekali.
Akhirnya sa tanya sa pu teman Linda dan dia cerita asal mula budaya Pabi itu.
Ternyata, cinta saya salah dan terlarang.
Galau melanda.
Tak siap menghadapi semua pertentangan yang akan muncul di kemudian hari. Bukan hanya sahabat saja yang mengingatkan tentang kesalahan pilihan hati tersebut, semua orang mulai menggunjingkan hubungan terlarang tersebut.
*******
Sakit dan perih meskipun Peter dan saya sepakat untuk tidak memperdulikan hal tersebut namun kelonggaran sanksi adat di jaman yang sudah maju memang tak seketat dahulu kala.
Namun, ada rasa keterasingan yang menyakitkan menemui pandangan mata penuh tuduhan yang menghina dan merendahkan yang terlihat di mata sahabat maupun handai taulan.
Ada bisik-bisik dan kasak khusuk di mana-mana, dan juga pandangan mata merendahkan setelah tahu tentang hubungan terlarang tersebut. Akhirnya, pilihan kembali sama kitorang dua, mo lanjut atau melupakan cinta terlarang itu.
Rasa sakit seperti pisau tajam yang iris-iris badan dan jiwa yang merana dalam risau tak bertepi.
Rindu Terlarang
Sa rindu ko skali sayang
Ternyata sa punya rindu ini tak boleh sa sebutkan
Ko punya nama harus saya sembunyikan di balik napas
Karna tra boleh lolos dari bibir yang dibungkam batas tabu
dalam kitong dua punya cerita ini, tiap detik adalah pertempuran
pergulatan batin antara ingin memeluk dan harus melepaskan
Logika kita tahu mana yang benar dan mana yang tidak
tapi hati dan rindu di dada ini memilih diam dan mekar
Kita adalah dua jiwa yang tak boleh bersatu
terpisah oleh aturan, waktu dan Pawi
namun rindu ini tetap hidup
Ia rindu yang tumbuh diruang sunyi
dari rasa yang tak boleh kupeluk dan tak jua bisa ku buang
Hanya kesunyian yang menemani batin yang tersiksa oleh tanya tak berujung, yang masih mengais sebuah pembenaran untuk rasa ini
(Jayapura, Januari 2012)
*******
Saya su coba beberapa kali untuk patuh pada larangan dan berusaha berhenti mencintai ko, sayang.
Akh…ternyata berat dan sangat menyakitkan.
Hingga malam-malam yang panjang dan sunyi terlewati dengan tanya yang bergejolak mempertanyakan keadilan dan makna cinta.
Berusaha sekuat tenaga menyangkal rasa namun resah kian datang menggunung. Rasa yang tak diundang rajin menemani malam dan menghadirkan insomnia tak berkesudahan.
Beban hati untuk menyangkal rasa, akhirnya perlahan membuat berat badan kian hari kian menurun.
Terkadang tanya penuh tuntutan terlontar di bibir “Tuhan, sa salahkah bila sa pu hati memilih untuk menjatuhkan pilihan ke dia?”
Terkadang sa bandingkan dia dengan pria-pria lain yang pernah sa cintai.
Peter memang tak sempurna, dan dia adalah tipikal laki-laki-laki Papua yang memiliki semua karakter yang dulunya tak pernah Sa inginkan; yaitu Kasar, posesif dan protektif berlebihan dan tra mengenal bahasa emansipasi atau kesetaraan.
Tipikal laki-laki chauvinistic tulen.
Namun satu hal yang buat sa heran adalah bahwa sa mulai patuh dan terkadang menentramkan diri bahwa sikap over protektifnya itu hanya semata-mata karena de pu cinta sama saya.
Terkadang sa pu keinginan untuk menjauh datang tak terbendung.
Tapi di lain waktu, dia datang dengan sejuta kata maaf dan menerangkan bahwa dia tra suka saya berbicara di depan laki-laki lain yang akan membuat mereka menyukai saya atau merebut cinta dan perhatian saya padanya. Padahal itu tak mungkin terjadi.
Dia tak mengerti bahwa bagi kami para kaum perempuan, jika cinta bersemi dihati kami, ia selalu butuh waktu dan usaha. Tak bisa tumbuh dalam sekejap, hanya lewat satu kerlingan atau kedipan mata.
Dia tak mengerti bahwa bukan penglihatan kami yang menentukan pilihan hati kami pada seorang laki-laki.
Akhirnya, sa mulai mengerti kenapa banyak pengorbanan yang rela dilakukan oleh perempuan-perempuan hebat, yang dulunya adalah sahabat-sahabat saya.
Perempuan-perempuan Papua yang hebat dan pemikir luar biasa yang memilih berkompromi diam dan patuh Ketika memasuki sebuah hubungan cinta.
Cinta yang tulus membutuhkan pengorbanan dan kompromi tanpa perlu kehilangan jati diri. Namun nilai patriarkhi yang tak banyak memberi ruang dna mengakomodir perasaan atau pemikiran Perempuan membuat segalanya masih berada di seputar memoles ego para kaum Adam belaka.
Cinta itu suatu kekuatan yang mampu mengubah setiap insan. Kadang ia mampu menundukkan jiwa yang liar tak terjinakkan, atau mengubah jiwa yang lembut menjadi keras dan tak terpatahkan.
Itulah kehidupan.
Namun, sa masih memperjuangkan sa pu cinta dan masih diperhadapkan pada pilihan melanggar budaya dan dianggap sebagai orang yang tra tau budaya karena mencintai laki-laki yang masih dalam satu klan denganku atau menjadi anak baik-baik yang melestarikan budaya leluhur sambil menyangkal rasa ini.
Hanya Tuhan yang tahu, benar tidaknya kitorang pu rasa cinta ini.
Q’braqe
[1] Pabi, istilah dalam Suku Dani di Kabupaten Jayawijaya, Papua, yang berarti terlarang atau menyalahi atauran Adat.