
Mama-mama yang ikut mengungsi di Gome, Kabupaten Puncak, Papua Tengah (doc: Mengalir)
LANGIT di atas wilayah Gome, Kabupaten Puncak, Papua Tengah, selalu biru. Setidaknya itulah yang selalu Mama Oktoviana ceritakan pada Lukas, anaknya. Tapi pagi itu, 22 Juli 2025, langit Gome bukan lagi biru.
Menjadi kelabu, berat, seolah ikut menangisi ribuan pasang kaki kecil yang beringsut di jalanan.
Dinginnya lembah merasuk tulang, dan setiap embusan napas adalah gumpalan asap yang cepat lenyap, seperti mimpi-mimpi mereka yang perlahan memudar.
“Mama, kapan kitong pulang?” tanya Lukas, suara kecilnya bergetar menahan dingin. Jemarinya yang kurus mencengkeram erat selimut tipis yang membalut tubuh adiknya, Maria.
Mama Oktoviana menggendong Maria di punggungnya, langkahnya gontai. Harapan dalam selimut tipis itu terasa makin berat setiap kali pertanyaan itu terlontar.
Di sampingnya, Bapak Markus, suaminya, berjalan lesu. Genggaman tangannya pada parang usang terasa hampa. Sabarnya sudah di ambang batas.
Rumah mereka, yang dulu dipenuhi tawa dan aroma ubi bakar, kini hanya tinggal cerita dalam kepulan asap dan debu yang membumbung. Kebun mereka, tempat Bapak Markus biasa menanam ubi dan sayuran dengan sikop, kampak, parang dan doa, kini sunyi.
Tak ada lagi lagu burung yang biasa menyambut mentari, diganti suara tembakan yang memekakkan telinga. Malam-malam terasa begitu panjang, tanpa mimpi indah, hanya bayangan sepatu bot menginjak tanah keramat mereka.
“Nona, lihat sudah ini dong pu mata. Terlalu merah sampe macam mau telan habis torang pu tanah!” bisik Mama Oktoviana suatu sore, saat mereka bersembunyi di balik semak belukar.
Dari kejauhan, para tuan kapitalis berdansa di atas tanah kelahiran mereka, Distrik Gome. Senyuman di wajah mereka kaku, artifisial, seolah belati yang mereka bawa mencakar tanah, membersihkan “pecek” (lumpur) yang menempel di sepatu mengkilat mereka.
Mata mereka, ya, mata itu… “Mata merah menyala macam mau kase habis kitong pu tanah dan kekayaan,” lanjut Mama Oktoviana, tangannya mengepal erat.
Konflik yang membara di Gome, Gome Utara, dan Omukia bukan lagi rahasia. Sejak tambang emas itu dibuka, sejak investor datang dengan janji-janji manis pembangunan, kehidupan mereka berubah drastis.
Jalanan yang tadinya setapak kini dilewati truk-truk besar, sungai yang jernih mulai keruh, dan hutan-hutan tempat nenek moyang mereka berburu kini rata dengan tanah. Mereka menjadi asing di tanah sendiri, digusur, diusir, dengan dalih kemajuan.
Aktivis HAM, Andreas Karma, yang sesekali berhasil menyelinap masuk ke kamp pengungsian mereka, pernah mendengar keluhan yang sama dari para tetua adat.
“Bapa-bapa, Ibu-ibu, dengar baik-baik! Kami bukan butuh uang, kami bukan butuh jabatan, kami bukan butuh pemekaran kampung, distrik dan kabupaten!” teriak seorang pemuda, suaranya parau tapi penuh semangat.
“Kami butuh kesehatan, pendidikan, keadilan, kedamaian dan kesejahteraan!”
Kalimat itu menyala-nyala di udara dingin, menjadi kredo bagi mereka yang terpinggirkan. “Dorang pung janji cuma di bibir saja,” keluh Lukas suatu malam, saat mereka mencoba tidur di tenda darurat yang bocor.
“Bilang mau bangun sekolah bagus, tapi torang pung anak-anak masih belajar di bawah pohon. Bilang mau bawa dokter, tapi Mama Maria sakit panas tinggi begini, obat juga susah.” Wajah Lukas yang masih belia, sudah terpahat kesedihan.
Namun, di antara derita dan pengungsian yang tak berujung, di antara suara tembakan yang menusuk hati dan janji-janji kosong yang tak pernah terealisasi, masih ada sesuatu yang tumbuh.
Seperti bunga-bunga kecil yang nekad tumbuh di sela-sela bebatuan kering, masih ada “Harapan”. Harapan yang dipupuk oleh setiap doa yang terucap, oleh setiap pelukan hangat di tengah malam yang dingin.
“Mama yakin, Lukas,” bisik Mama Oktoviana suatu pagi, menunjuk ke arah matahari yang perlahan menembus kabut tebal.
“Besok pasti terang akan datang. Matahari akan bersinar. Tuhan tidak tidur. Dorang boleh ambil tong pung rumah, kebun dan tanah, tapi dorang tidak bisa ambil tong punya harapan.”
Lukas menatap mamanya. Ia melihat air mata di sudut mata mama, tapi juga melihat kekuatan yang luar biasa. Harapan itu, seperti akar-akar pohon besar yang menembus batuan, terus mencengkeram.
Harapan bahwa suatu hari, mereka akan kembali. Bahwa tanah Gome, Gome Utara, dan Omukia akan kembali menjadi pelukan yang hangat. Tempat mereka bisa bernyanyi, menari, dan hidup dalam damai.
Mereka, para pengungsi Gome, Gome Utara, dan Omukia, adalah saksi bisu atas luka yang tak terlihat oleh mata dunia. Mereka adalah pendengar setia jeritan yang tak terdengar oleh telinga-telinga yang enggan mendengar.
Dalam setiap langkah kaki yang kehilangan arah, dalam setiap bait lagu pengungsian yang mereka nyanyikan, mereka menitipkan doa. Sebuah doa sederhana, namun tulus dari lubuk hati terdalam:
“Pulanglah kalian, dengan damai.”
Mengalir