
Area pulau-pulau kecil Pianemo yang tersusun dari batuan kapur (karst). Terletak di Kepulauan Wayag, Raja Ampat.
UNESCO Global Geopark (UGGp) adalah kawasan geografis tunggal yang memiliki warisan geologi luar biasa, dikelola dengan prinsip perlindungan, pendidikan, serta pembangunan berkelanjutan.
Pengakuan ini diberikan oleh UNESCO sebagai bentuk apresiasi terhadap upaya menjaga kekayaan bumi dan budaya, sekaligus mendorong keterlibatan aktif masyarakat dalam mengelola sumber daya secara alami dan bertanggung jawab.
Untuk diakui sebagai UGGp, sebuah kawasan harus memenuhi beberapa kriteria penting: memiliki nilai geologi yang luar biasa secara internasional, kekayaan keanekaragaman hayati dan budaya, serta pengelolaan yang bersifat edukatif, inovatif, dan berkelanjutan dengan melibatkan masyarakat lokal sebagai aktor utama.
Saat ini terdapat 229 UNESCO Global Geopark yang tersebar di 50 negara. Tiongkok menjadi negara dengan jumlah geopark terbanyak yaitu 49 kawasan, diikuti oleh Spanyol dengan 18 kawasan.
Indonesia berada di posisi ketiga dunia dengan 12 kawasan geopark, yakni Gunung Batur di Bali, Belitong di Bangka Belitung, Ciletuh di Jawa Barat, Gunung Sewu yang meliputi Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur, Tambora di NTB, Danau Toba di Sumatera Utara, Raja Ampat di Papua Barat Daya, Maros–Pangkep di Sulawesi Selatan, Merangin di Jambi, Ijen di Jawa Timur, Kebumen di Jawa Tengah, dan Meratus di Kalimantan Selatan.
Raja Ampat dan Sertifikat UNESCO
Geopark Raja Ampat adalah salah satu dari empat kawasan di Indonesia yang baru saja menerima sertifikat UNESCO pada 24 Mei 2023. Penyerahan penghargaan ini dilakukan di kantor pusat UNESCO di Paris, Prancis, dan diterima langsung oleh Penjabat Gubernur Papua Barat Daya, Muhammad Musa’ad, bersama Bupati Raja Ampat kala itu, Abdul Faris Umlati.
Sebagai geopark yang masih relatif muda dalam pengelolaan kawasan berbasis prinsip UGGp, Raja Ampat menghadapi berbagai tantangan.
Sejumlah permasalahan potensial yang dapat membuat UNESCO menjatuhkan “kartu kuning” pada suatu kawasan geopark mencakup: standar pengelolaan yang belum optimal, lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat, kurangnya pemberdayaan masyarakat, masalah kebersihan, penyebaran hoaks atau informasi salah, adanya pungutan liar, aktivitas penambangan ilegal, lemahnya upaya mitigasi bencana, rendahnya edukasi publik, dan eksploitasi alam yang berlebihan.
Permasalahan seperti minimnya edukasi masyarakat, lemahnya pengawasan di lapangan, atau buruknya tata kelola pariwisata, sebenarnya dapat diselesaikan oleh pemerintah daerah setempat. Solusinya antara lain dengan membangun kesadaran kolektif, memberikan edukasi langsung kepada warga, mendampingi pelaku wisata dan pelaku ekonomi lokal, serta membuat sistem pengawasan terpadu yang melibatkan masyarakat dalam pengembangan kawasan.
Pengelolaan lingkungan pun sebaiknya berbasis kearifan lokal, dengan menekankan pentingnya kebersihan dan kelestarian sebagai nilai bersama.
Pertambangan Nikel Sebagai Ancanam Serius
Namun, dari semua tantangan yang ada, yang paling serius dan berpotensi menghancurkan eksistensi Geopark Raja Ampat adalah aktivitas pertambangan mineral yang berlebihan. Perusahaan seperti PT Gag Nikel, PT Kawei Sejahtera Mining, dan PT Anugrah Surya Pratama diketahui memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan cakupan wilayah yang melebihi luas daratan pulau tempat mereka beroperasi. Ini bukan hanya bentuk pelanggaran administratif, melainkan ancaman serius terhadap kelangsungan ekosistem.
Pertambangan, dalam konteks kawasan konservasi, adalah seperti virus yang menyebar dan merusak seluruh habitat di sekitarnya. Tidak hanya merusak lanskap dan keanekaragaman hayati, tetapi juga mengancam sumber mata pencaharian masyarakat dan reputasi kawasan di mata dunia.
Pemerintah pusat tidak bisa lepas tangan. Dalam Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Pengembangan Taman Bumi dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 31 Tahun 2021 tentang Penetapan Geopark Nasional, pemerintah pusat memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga dan menangani kawasan yang telah diakui UNESCO.
Pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten, juga wajib menyusun regulasi khusus dalam bentuk peraturan daerah (perda) untuk pengelolaan kawasan geopark. Bahkan, bila perlu, izin usaha pertambangan di kawasan geopark harus dicabut secara tegas.
Karena pada prinsipnya, konservasi lingkungan dan eksploitasi tambang adalah dua kutub yang bertolak belakang. Tidak akan pernah bisa disatukan. Sekalipun didukung oleh dokumen analisis dampak lingkungan (AMDAL) yang tebal dan terperinci, pada akhirnya akan ada yang dikorbankan.
Dalam konteks Raja Ampat, yang dikorbankan adalah kawasan geopark itu sendiri beserta seluruh kehidupan yang bergantung padanya.
(*) Leonathan Tahoba penulis artikel ini. Ia adalah seorang pemerhati lingkungan dan pembangunan, tinggal di Maybrat.