
Empat anggota NRFPB saat ditangkap dan dibawa ke Polresta Sorong, Papua Barat (doc: sorongraya.com)
KEPOLISIAN INDONESIA di Tanah Papua bisa dibilang sangat tidak profesional dan telah merusak esensi hukum. Aktivis politik Papua sering ditangkap dan dikenai pasal makar seenaknya hanya sebagai upaya meneror kebebasan berekspresi. Sayangnya, hal itu dianggap wajar, normal dan dilakukan berulang-ulang.
Apalagi polisi dianggap mempunyai kewenangan atas penegakan hukum tanpa menyadari bahwa mereka punya batasan dalam memastikan hukum berjalan sesuai fungsinya. Hal yang kadang dilupakan, atau karena mungkin tidak paham tapi berlagak punya kekuasaan.
Ini tentu menunjukan sikap otoriter yang merusak esensi hukum, karena polisi tidak menyadari bahwa hukum itu sebagai sebuah aturan yang bersifat universal. Berlaku bagi siapa saja, tanpa memandang latar belakang. Di dalamnya ada aspek kepastian yang terukur.
Kedunguan seperti itu selalu ditunjukan berulang-ulang di tanah Papua. Dimana korban selalu dikenakan pasal makar sebagai upaya mengkriminalisasi korban sesuka polisi, tapi juga upaya teror mental. Makar dijadikan pasal karet untuk menangkap orang seenak penguasa. Padahal, unsurnya harus terukur dan jelas.
Tindakan kejahatan dengan lebel makar sesungguhnya merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Jadi mestinya para Kapolres dan Kapolda harus diperiksa dan diproses hukum, bila memakarkan sebagai penawar konsep penyelesaian masalah.
Memaknai Pasal Makar
Konsep makar pernah saya tulis di media nasional yakni: “pasal makar seperti pada pasal yang dimaksud baik pada pasal 106 Jo pasal 87 ataupun pasal 110 secara subtansial memiliki batasan yang ketat, bahwa makar itu harus bersifat melawan negara dengan kekerasan atau dengan kekuatan bersenjata. Sementara pasal 87 yang diarahkan pada pasal 53 soal percobaan, percobaan dalam pengertian makar harus dilihat apakah memiliki kekuatan senjata atau tidak”.
Menurut Ahli Pidana, M. Toufik, “delik makar itu deliknya adalah delik materil. Deskripsinya jelas (1) harus ada kekuatan bersenjata; (2) merong-rong pemerintahan dalam bentuk pemerintahan tidak berjalan; (3) menyerang keamanan presiden dan wakil presiden. Yang bisa lakukan makar kalau bukan polisi ya tentara karena mereka yang mempunyai senjata. Kalau kritik, tidak ada pasal yang bisa dipakai untuk menyebut orang itu makar”.
Unsur utama dalam makar itu adalah adanya perlawanan terhadap negara dengan kekerasan disertai kekuatan bersenjata (Aanslag). Menurut Prof Melkias Hetharia, “makar diterjemahkan dari kata aanslag. Dalam kamus Indonesia-Belanda artinya penyerangan atau mencoba membunuh. Pasal makar saat ini sudah diartikan sangat luas dan tidak sesuai dengan arti aanslag yang sesungguhnya dalam bahasa Belanda. Karena itu, pasal makar yang ada dalam KUHP bertentangan dengan HAM yang berlaku di Indonesia”.
Dengan demikian, ketika bicara hukum, sesungguhnya sangat jelas dan terukur. Kecuali hukum dipakai oleh orang yang tidak mengerti hukum atau orang yang ingin merusak hukum. Jadi sebaik apapun hukum, akan dipakai seenaknya dengan pasal-pasal yang tidak berkesesuaian dan dibuat multitafsir hanya untuk meneror, menakut-nakuti dan melakukan tindakan kejahatan lainnya, yang oleh Prof Melkias disebut bertentangan dengan HAM.
SBY Wacanakan Perundingan, Jokowi Pernah Dorong Dialog, Prabowo Janjikan Dialog: Bisakah Mereka Dimakarkan?
Perundingan dikenal sebegai mekanisme formal untuk menyelesaikan berbagai masalah yang tidak pernah terselesaikan. Mekanisme ini selalu dipakai di dunia sebagai mekanisme demokrasi dan semangat menyelesaikan masalah yang tidak pernah terselesaikan atau yang telah terjadi begitu lama dan tidak pernah ada jalan penyelesaian masalah.
Mekanisme penyelesaian masalah ini juga dilihat sebagai suatu mekanisme yang ilmiah, demoratis dan sebagai cara bermartabat dalam pemenuhan hak asasi manusia. Di Indonesia, jika didalami, misalnya dijelaskan pentingnya musyawarah untuk mufakat. Musyawarah merupakan ruang untuk berbicara berbagai soal dan menyepakati bersama bagaimana menyelesaikan soal tersebut.
Di Papua cara demikian dikenal dengan sebutan para-para adat, honai, yamewa dan lainnya. Dalam Pancasila, dengan jelas pada sila ke-4 yakni permusyawaratan perwakilan, dan itu tidak hanya soal keterwakilan di Parlemen, tapi juga dalam semangat penyelesaian masalah, dalam semangat nilai.
Dalam semangat itu, SBY yang saat itu menjadi presiden RI menggelar perundingan GAM dan Indonesia. Kemudian saat Jokowi menjadi presiden, ia pun berencana menggelar dialog Jakarta-Papua dengan menunjuk Teten dan Pastor Neles sebagai fasilitator, tanpa adanya SK.
Hal yang sama juga waktu Prabowo calon presiden, ia mewacanakan akan menggelar dialog. Sementara salah satu bentuk dari dialog adalag perundingan. Artinya, jika 4 orang ditangkap dan dikenakan pasal makar, kenapa SBY, Jokowi dan Prabowo tidak dikenakan pasal makar?
Pasal Makar: Pasal Karet Untuk Meneror Orang Papua
Ketika bicara hukum, harus unsurnya jelas dan terukur. Jika hukum dipakai untuk menakut-nakuti warga, maka itu merupakan tindakan kejahatan. Disini ada beberapa mainstream, yakni; (1) Membunuh mental warga; (2) Warga takut dan tidak berani bicara masalah; (3) Menikmati semua bentuk kejahatan negara tanpa melawan.
Dalam konteks itu, cara yang dipakai biasanya berupa: (a) Menakut-nakuti warga dengan pasal karet; (b) meneror warga dengan pasal tidak jelas; (c) membunuh mental warga dengan pasal siluman.
Makar memiliki unsur yang ketat apalagi makar dikenal dengan istilah aanslag, yakni adanya tindakan perlawanan kekerasan dengan kekuatan bersenjata. Sementara 4 orang anggota Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB) hanya memberikan surat berisi proposal perundingan, dan itu bukan perbuatan makar.
NRFPB melakukan panawaran menyelesaikan masalah dengan damai, apalagi itu juga pernah ditawarkan LIPI dengan pentingnya dialog. SBY mengeluarkan kebijakan perundingan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Jokowi dan Prabowo juga mewacanakan dialog. Tidak ada perbuatan makar, bukan?
Viktor Yeimo menyebutkan “hanya antar surat perundinngan damai terhormat, 4 staf NRFPB jadi tersangka dan dipenjara di Sorong. Jakarta mau Papua terus berdarah, tapi tetap pamer jadi juru damai di dunia. Biadab”.
Polisi menangkap 4 orang yang hanya antar surat untuk perundingan damai, menunjukan bahwa polisi bukan lagi penegak hukum tapi preman dan penjahat hukum dan HAM. Tidak pernah ada di dunia, polisi menangkap orang hanya antar surat untuk perdamaian, dan hal itu hanya di Indonesia.
Disisi lain, ketika SBY, Jokowi dan Prabowo tidak dimakarkan, sementara aktivis Papua yang mendorong penyelesaian masalah melalui perundingan dimakarkan, tentu ini menegaskan adanya praktek rasisme yang dilakukan oleh pihak kepolisian Indonesia.
Memberikan gambaran bahwa jika perundingan ditawarkan oleh orang yang ber-ras Melayu dianggap demokrasi. Atau jika dilakukan oleh presiden dianggap itu kebijakan humanis (tindakan diskriminasi karena kekuasaan). Namun jika oleh aktivis Papua itu dianggap makar.
Bebaskan 4 Anggota NRFPB
KOMNAS HAM harus tetapkan Kapolres dan Kapolda sebagai penjahat HAM. Lalu Kapolri harus copot perusak hukum dan penjahat HAM!
Polisi menyebutkan adanya nama organisasi dan kemudian mencari alasan lain. Padahal, dalam sebuah organisasi, apa pun nama dalam organisasi itu kembali pada kesepakatan internal organisasi sampai dengan pemberian nama. Nama presiden sendiri adalah pemimpin organisasi, baik itu perusahaan, gereja atau bahkan organisasi apa pun hingga negara.
Dalam setiap organisasi, ada divisi keamanan atau apapun itu sehingga hal itu kembali pada nama yang disepakati. Artinya bahwa itu sangat multitafsir. Karena multitafsir, maka itu jauh dari berbagai unsur yang dapat dicari-cari alasan yang tidak benar.
Apalagi organisasi mengusulkan perundingan sebagai sebuah cara yang bermartabat untuk menyelesaikan masalah Papua. Perundingan itu cara demokratis dan menjadi mekanisme internasional dalam menyelesaikan masalah.
Terkait masalah ini, perundingan antara Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bisa dijadikan referensi bagaimana perundingan dilakukan. Hal itu datang ketika diwacanakan SBY, tapi ia tidak dikenai makar karena mau berunding dengan GAM.
Sementara 4 aktivis Papua dari organisasi NRFPB yang hanya menyampaikan gagasan perundingan dari keputusan organisasi, malah dikenakan pasal makar. Perundingan merupakan mekanisme internasional dalam menyelesaikan masalah. Dalam hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia pun memastikan hal itu.
Demikian juga dalam Pancasila sebagai falsafah hidup (nilai) bangsa Indonesia, mengatur pentingnya musyawarah dan mufakat. Jadi anggota polisi yang justru melakukan tindakan yang bertentangan dengan nilai Pancasila, konstitusi, demokrasi, hak asasi manusia dan hukum, mestinya juga harus diproses hukum.
Karena itu Komnas HAM harus segera menyatakan bahwa anggota kepolisian yang menangkap dan pimpinan yang menginstruksikan penangkapan terhadap 4 anggota NRFPB, telah melakukan pelanggaran HAM.
Komnas HAM juga perlu merekomendasikan Kapolri agar mencopot anggota polisi atau pihak-pihak yang berkuasa menangkap 4 orang yang tidak bersalah. Jika Kapolri tidak melaksanakan itu, Komnas HAM harus menetapkan Kapolri sebagai pelanggar HAM dan merekomendasikan Kapolri dicopot.
Demi hukum, HAM dan demokrasi, 4 warga yang merupakan anggota NRFPB harus dibebaskan tanpa syarat. Polisi harus mempertanggungjawabkan semua kerugian yang mereka alami.
(*) Marthen Goo, S.H,M.H adalah penulis artikel ini. Ia adalah aktivis Papua, pegiat HAM dan peminat Hukum Tata Negara yang kini berdomisili di Oklahoma, Amerika Serikat.