
RASISME adalah musuh kemanusiaan. Sejarah peradaban manusia menyimpan luka panjang akibat diskriminasi rasial yang diterapkan di berbagai belahan dunia.
Luka itu tidak pernah benar-benar pudar, terus membekas hingga hari ini. Rasisme menodai kemanusiaan, menyesatkan pikiran, dan mengurung manusia dalam jeruji prasangka. Kemanusiaan sejati menuntut kita untuk mencintai tanpa syarat warna kulit.
Di balik sejarah panjang perjuangan rakyat Afrika Selatan melawan sistem apartheid, terdapat jejak seorang perempuan dengan jiwa membara yang hanya bisa ditundukkan oleh kematian. Namanya Ruth Heloise First.
Ia adalah seorang jurnalis, intelektual, sekaligus aktivis yang memberi kontribusi besar dalam perjuangan anti-apartheid. Namun, namanya kerap disembunyikan dan jejaknya diabaikan karena ideologi yang diyakininya dianggap berbahaya: komunisme.
Di bawah langit Afrika Selatan yang terbelah oleh rasisme dan politik apartheid, Ruth hadir dengan pena dan keberanian. Sosialisme baginya bukan sekadar slogan kosong, melainkan janji tentang dunia tanpa kelas, di mana setiap manusia setara dan bumi menjadi milik bersama.
Ruth adalah seorang “kamerad” yang hidup sezaman dengan tokoh-tokoh besar seperti Nelson Mandela, Steve Biko, Robert Sobukwe, Desmond Tutu, Walter Sisulu, dan Thabo Mbeki. Usianya delapan tahun lebih muda dari Mandela, tetapi kontribusinya tak kalah penting.
Sebagai perempuan yang tertarik membaca sejarah perlawanan perempuan, saya heran karena nama Ruth First jarang disebut dalam literatur populer. Salah satu alasannya mungkin karena sedikitnya referensi tentang dirinya, atau karena pandangan politiknya yang dianggap terlalu radikal.
Satu benang merah menyatukan para pejuang anti-apartheid: banyak dari mereka lahir dari keluarga simpatisan atau aktivis Partai Komunis Afrika Selatan. Pemikiran itu membentuk pola pikir mereka, menanamkan nilai kesetaraan, solidaritas, dan keadilan yang kelak menggerakkan perjuangan melawan apartheid.
Jejak Awal, Perlawanan Lewat Pena dan Aksi
Ruth lahir pada 4 Mei 1925 dari pasangan Julius First dan Mathilda Levetan, imigran Yahudi Slovenia yang datang ke Afrika Selatan awal 1900-an.
Berbeda dari mayoritas masyarakat kulit putih di sana, keluarganya berpandangan radikal dan antirasis. Diskusi gagasan adalah hal lumrah di rumah mereka. Sejak kecil, Ruth akrab dengan ide-ide komunisme, sosialisme, solidaritas, dan dunia tanpa kelas.
Sejak remaja, ia aktif mengorganisir klub membaca secara sembunyi-sembunyi dan menulis di media tentang ketidakadilan rasial. Aktivismenya mempertemukan Ruth dengan Joe Slovo, sesama aktivis militan yang kelak menjadi suaminya.
Dari pernikahan ini mereka dikaruniai tiga anak: Gillian, Shawn, dan Robyn Slovo. Pasangan ini dikenal gigih, konsisten, dan militan, sehingga kerap menghadapi represi, pengasingan, hingga penjara.
Ruth bukan hanya pemikir, tapi juga penggerak. Ia aktif menulis artikel kritis, mengorganisir protes, dan berdiri di garis depan perlawanan. Ia pernah ditangkap dan ditahan selama 117 hari tanpa pengadilan, pengalaman yang kemudian ia abadikan dalam memoarnya 117 Days. Buku ini hingga kini dianggap salah satu catatan penjara paling klasik.
Dalam esai “Pretoria Takluk oleh Perempuan,” Ruth menulis tentang aksi 2.000 perempuan pada 26 Oktober 1964 yang menentang undang-undang diskriminatif. Dengan pamflet di tangan, mereka mendatangi kantor pemerintah hingga para menteri melarikan diri.
Aksi ini diakhiri dengan menyanyikan lagu Nkosi Sikelel’ iAfrika, yang kelak menjadi himne perjuangan anti-apartheid. Dari tulisannya, terlihat jelas bahwa Ruth bukan sekadar pengamat, melainkan penggerak di balik aksi tersebut.
Karena pengaruhnya yang besar, Ruth masuk dalam daftar 155 aktivis yang diadili pada 1956. Meski akhirnya bebas, ia dikenai larangan menulis, berbicara, atau menghadiri pertemuan politik.
Pembungkaman ini berlanjut: pada 1963 ia menjadi perempuan pertama yang ditahan dengan Undang-undang 90 Hari, dipenjara di sel isolasi tanpa dakwaan.
Pengasingan, Spirit Pan-Afrikanisme dan Warisan Yang Membara
Pada 1964, Ruth memilih pengasingan di Inggris. Namun, jarak tidak memadamkan semangatnya. Ia terus mengorganisir gerakan anti-apartheid di luar negeri, menulis, dan membongkar kontradiksi sosial yang ditimbulkan kapitalisme dan kolonialisme di Afrika.
Komitmen Pan-Afrikanismenya kuat. Ia menolak dikotomi palsu antara Afrika Utara dan Sub-Sahara, hidup di Tanzania dan Mozambik, serta mengabdi pada perjuangan rakyat di berbagai negara Afrika.
Ruth dikenal sebagai intelektual brilian yang menggabungkan jurnalisme investigatif, riset sosiologis tajam, imajinasi menulis, dan aktivisme politik. Justru karena itu ia dianggap ancaman. Hingga akhirnya, pada 17 Agustus 1982 di Maputo, Mozambik, Ruth First tewas akibat bom surat kiriman rezim apartheid.
Sepuluh tahun setelah kematiannya, Nelson Mandela mengenangnya dengan kata-kata:
“Ruth spent her life in service of the people of Southern Africa. She went to prison for her beliefs. She was murdered because of her acute political acumen combined with her resolute refusal to abandon her principles. Her life and death remain a beacon to all who love liberty.”
Ruth dianggap berbahaya karena ia benar-benar memahami kontradiksi kelas di masyarakatnya, menuliskannya dengan jernih, dan terlibat langsung dalam pengorganisasian perlawanan.
Namanya mungkin kerap dikaburkan oleh bayang-bayang ideologi, tetapi jejak perjuangannya tidak bisa dipadamkan.
Kisah Ruth First mengingatkan kita pada perjuangan perempuan lain di berbagai penjuru dunia, termasuk Papua. Rasisme bukanlah masa lalu; ia masih nyata di Indonesia, terutama di Papua yang kini berstatus daerah pendudukan, kolonisasi dan wilayah yang terus dirampok sumber daya alamnya.
Kebijakan diskriminatif yang didasarkan pada politik pendudukan dan kolonisasi, telah membuat Tanah Papua tetap menjadi wilayah dengan provinsi-provinsi termiskin selama lebih dari enam dekade.
Namun, seperti Ruth, perempuan Papua juga menyalakan api perlawanan: Angganetha Manufandu dan kelompok perempuan pimpinan Mama Tin Rumkabu di Biak; Yosepha Alomang dan Mama Ema Natkime yang melawan Freeport; Mama Yasinta Moiwend dan mama-mama Malind yang berjuang melawan perampasan tanah adat.
Perempuan-perempuan ini, seperti Ruth First, menolak tunduk pada kekuasaan yang menindas. Mereka menunjukkan bahwa perjuangan melawan rasisme, ketidakadilan, dan penindasan tidak mengenal batas negara maupun waktu. (Q’raqe)