
Suasana massa aksi di sekitar area Klademak III Kota Sorong (doc: RN/Solidaritas)
Sorong, Papua Barat Daya – Pagi itu, 21 April 2025, sejumlah aktivis politik dari Negara Federal Republik Papua Barat (NRFPB) tiba di Kantor Gubernur Papua Barat Daya dan Wali Kota Sorong dengan sebuah surat dari Presiden NRFPB, Frokorus Yaboisembut.
Surat itu berisi pesan yang sederhana: menyelesaikan konflik Papua secara damai. Namun, langkah itu justru menjadi pemantik perhatian luas di media sosial dan berita lokal yang segera memunculkan pro dan kontra.
Dalam beberapa hari, respons keras datang dari berbagai pihak. Gubernur Elisa Kambu, Forkopimda PBD, dan sejumlah pejabat kota menolak aksi ini, bahkan menuding langkah para aktivis Papua ini sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara Indonesia. Suasana tegang membayangi Sorong; warga pun terbelah antara simpati dan ketakutan.
Hanya beberapa hari kemudian, tepatnya 28 April 2025, Abraham Goram Gaman (Bram), Nikson May, Piter Robaha, dan Maxi Sangkek ditangkap di rumah Bram di Bukit Klademak III, di belakang Mall Ramayana.
Puluhan aparat hadir dengan peralatan lengkap, menyita sejumlah barang yang diklaim sebagai bukti, sementara warga menyaksikan dengan campuran ketakjuban, cemas, dan protes. Penangkapan itu menandai awal dari serangkaian peristiwa yang memicu ketegangan, aksi solidaritas, dan akhirnya kericuhan di Sorong yang menjadi sorotan nasional.
Sejak saat itu, keempat Tapol menghadapi kondisi penahanan yang buruk, kesehatan mereka memburuk, dan warga masyarakat pun bergerak menuntut keadilan dan hak mereka untuk berobat.
Rencana pemindahan paksa ke Makassar memunculkan aksi protes dan bentrokan yang menimbulkan korban penembakan, luka-luka dan penangkapan warga sipil.
Kronologi ini menceritakan rentetan peristiwa tersebut secara urutan. Menyingkap ketegangan sosial-politik di balik kasus Tapol NRFPB beserta dampaknya bagi masyarakat Sorong Raya dan Tanah Papua dalam dinamika sosial politik yang rentan bergejolak.
Penyerahan Surat Damai Aktivis NRFPB dan Penangkapan
- Pada 21 April 2025: Para aktivis Negara Federal Republik Papua Barat (NRFPB), membawa surat tembusan dari Presiden NRFPB, Frokorus Yaboisembut yang berisi tawaran penyelesaian konflik Papua secara damai ke Kantor Gubernur Papua Barat Daya dan kantor Wali Kota Sorong. Aksi ini sempat viral di media sosial dan berita lokal.
- Beberapa hari kemudian, terdapat respon dari berbagai pihak yang menentang aksi kelompok NRFPB, termasuk dari Gubernur Papua Barat Daya, Elisa Kambu beserta Forkopinda yang melakukan jumpa pers dan meminta aparat keamanan untuk bertindak. Wakil Wali Kota Sorong dan sejumlah forum reaksioner pencinta NKRI di Sorong Raya juga mengecam aksi NRFPB.
- 28 April 2025: keempat aktivis NRFPB (Abraham Goram Gaman, Nikson May, Piter Robaha, dan Maxi Sangkek, ditangkap oleh Kepolisian Resor Kota Sorong. Penetapan mereka sebagai tersangka dalam kasus dugaan makar terjadi pada hari yang sama, yakni 28 April 2025, setelah gelar perkara sekitar pukul 16.00.
- Penangkapan dilakukan oleh puluhan anggota polisi di rumah Abraham Goram Gaman yang berada di bukit Kalemak III (belakang Mall Ramayana), Kota Sorong, disertai penyitaan sejumlah barang yang diklaim sebagai barang bukti. Penangkapan ini sempat menyita perhatian dan aksi perlawanan warga setempat maupun menjadi moment penting yang kemudian memicu serangkaian peristiwa lanjutan.
Penahanan Aktivis NRFPB dan Aksi Solidaritas
- Sejak 28 April 2025, keempat Tapol (Abraham Goram Gaman, Nikson May, Piter Robaha, dan Maxi Sangkek) ditahan di Rutan Polresta Sorong Kota dalam kondisi sel sempit dengan puluhan tahanan, berasap rokok, dan sirkulasi udara buruk.
- Setelah mendekam selama 49 hari dalam ruang tahanan yang buruk, memicu kesehatan para Tapol NRFPB memburuk, terutama dialami Abraham Goram (paru-paru kambuh) dan Maksi Sangkek (batuk berdarah).
- 16 Juni 2025: Maksi bersama Abraham sempat dibawa ke poliklinik, namun kembali ditahan setelah itu. Permohonan penangguhan penahanan dari pihak LP3BH (Lembaga Penelitian Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum) Manokwari sebagai pendamping hukum, dan keluarga juga diabaikan.
- Penahanan kemudian berlanjut selama lebih dari 60 hari (2 bulan), melewati batas waktu penahanan selama masa penyidikan, tanpa proses hukum yang jelas. Hal ini memicu tuntutan agar mereka segera dibebaskan karena keempat Tapol NRFPB dinilai terlalu prematur dan tidak pantas dikenakan Pasal Makar.
- Situasi ini kemudian mendorong para aktivis yang tergabung dalam Solidaritas Rakyat Papua Pro Demokrasi se-Sorong Raya beserta keluarga dan pendamping hukum dari LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy meminta agar para Tapol NRFPB yang sakit (Bram Goram dan Maksi Sangkek) perlu diberi kesempatan untuk berobat agar pulih sebelum menjalani proses penyidikan. Namun permintaan ini pun tidak ditanggapi pihak Kejaksaan dan Polres Sorong Kota.
- Solidaritas Rakyat Papua Pro Demokrasi se-Sorong Raya kemudian sempat menggelar beberapa kali aksi damai di depan Mapolres Sorong Kota maupun membuat pernyataan pers menuntut agar keempat Tapol NRFPB dibebaskan. Solidaritas juga meminta agar 2 Tapol yang sakit (Bram dan Maksi) perlu dikeluarkan untuk mendapat pengobatan yang memadai.
Rencana Pemindahan 4 Tapol NRFPB dan Sidang di Makassar
- 11 Agustus 2025: Penyidik Polres Sorong menyerahkan berkas keempat Tapol yang dinyatakan lengkap (P21) ke Kejaksaan Sorong. Kejari kemudian mengajukan pemindahan persidangan ke Makassar kepada Mahkamah Agung. Surat permohonan disiapkan pada 22 Agustus 2025.
- 13 Agustus 2025: Kejaksaan menyatakan bahwa keputusan sidang dipindahkan ke PN Makassar telah diperoleh dari fatwa Mahkamah Agung.
- Rencana pemindahan keempat Tapol NRFPB dan sidang ke Makassar, kemudian mendapat reaksi penolakan dari keluarga, pendamping hukum dan solidaritas.
- Solidaritas telah menggelar aksi penolakan dan long march dari Mall Ramayana ke Kantor Gubernur PBD serta orasi berlangsung hingga sore, Massa solidaritas juga melakukan pembakaran ban sebagai simbol kekecewaan, dan tuntutan pembatalan pemindahan serta pembebasan Tapol.
Penolakan Pemindahan 4 Tapol NRFPB dan Kericuhan
- Sejak 22-23 Agustus 2025, berbagai aksi damai digelar: solidaritas di Sorong Raya menolak pemindahan, menuntut proses diteruskan di Sorong, meminta pembatalan rekomendasi Forkopimda, dan menuntut keempat Tapol dibebaskan karena bukti dianggap lemah.
- Advokat dan keluarga menyoroti kondisi kesehatan kedua Tapol, terutama Maksi Sangkek yang membutuhkan perawatan serius.
- 27 Agustus 2025 (Rabu pagi, sekitar pukul 05.00-06.30 WIT): massa menghalangi pemindahan keempat Tapol NRFPB dari Mapolresta Sorong melalui penerbangan via Bandara DEO Sorong ke Makassar untuk persidangan pada 28 Agustus 2025.
- Kapolri dan Kapolda PBD menurunkan aparat TNI/Polri untuk membuka jalan, dan tahanan diberangkatkan ke Makassar dengan rantis, dikawal Brimob dan Kejaksaan.
- Sejumlah massa juga secara terpisah kemudian melakukan aksi protes dengan merusak Kantor Gubernur PBD, Kantor Walikota Sorong, hingga rumah pribadi dan mobil dinas Gubernur Elisa Kambu di Malanu.
- Aksi massa juga terjadi di beberapa titik Kota Sorong dalam bentuk pemalangan jalan dan pembakaran ban di beberapa titik seperti Kompleks Yohan, Jalan Baru dan Pengadilan Negeri.
- Polisi kemudian berusaha membubarkan massa dengan menembak gas air mata dan melakukan tembakan peringatan. Namun tindakan aparat ini menyebabkan seorang warga sipil MW (22 tahun) terkena tembakan saat mengikuti aksi demonstrasi di Jalan Jenderal Sudirman. Korban pertama kali dibawa ke Puskesmas Malawi dan kemudian dirujuk ke rumah sakit untuk penanganan medis lebih lanjut. Namun Kapolda Papua Barat Daya, Brigjen Pol Gatot Haribowo, menyatakan bahwa pihaknya masih menyelidiki penyebab luka yang dialami MW
Korban Luka Lainnya dan Penangkapan Warga
- Yance Manggaprouw: Seorang warga ditangkap oleh anggota Resmob Polresta Sorong Kota sekitar pukul 16.32 WIT di rumahnya. Setelah ditangkap, ia dibawa ke Polresta Sorong Kota dengan tangan diborgol dan dipukul menggunakan popor senjata api hingga mengalami luka dan bengkak pada kepala bagian kiri, luka lecet di bagian siku tangan kiri, dan lehernya sempat dicekik.
- Setidaknya 17 warga Kota Sorong dilaporkan telah ditangkap pasca aksi penolakan pemindahan tahanan politik (Tapol) NRFPB dari Sorong ke Makassar. Dari jumlah tersebut, terrmasuk anak di bawah umur dengan pola penangkapan paksa dan kekerasan oleh aparat. Situasi ini mencerminkan ketegangan yang tinggi antara aparat keamanan dan masyarakat sipil di Sorong terkait isu pemindahan Tapol.
- 28 Agustus 2025: Sejumlah pihak mengecam ricuh ini. Menyoroti bahwa unjuk rasa adalah hak konstitusional, dan mendesak aparat menggunakan pendekatan persuasif, humanis dan perlunya perlindungan keamanan (keselamatan dan kesehatan) keempat Tapol NRFPB yang dipindahkan dari Sorong ke Makassar.
- Keempat Tapol NRFPB saat menghadiri persidangan di Makassar (28 Agusutus) menyatakan persidangan ditunda karena tidak dihadiri kuasa hukum mereka dari LP3BH Manokwari.
Dampak Kericuhan, Dari Sorong ke Manokwari
- Dampak aksi protes pemindahan paksa 4 Tapol NRFPB ke Makassar dan kericuhan yang terjadi di beberapa titik di Sorong menyebabkan 100 personil Brimob Polda Papua Barat diberangkatkan ke Sorong untuk membantu menangani situasi.
- Kericuhan juga sempat menyebar ke Manokwari pada Kamis malam, 28 Agustus 2025. Berlokasi di jalan utama Yos Sudarso kompleks Airkuki dan Sanggeng, terjadi aksi pemblokiran jalan dan pembakaran ban.
- Aksi ini dilakukan kelompok massa simpatisan bagi keempat Tapol NRFPB yang dibawa ke Makasaar dan salah satu warga yang tertangkap aparat di Sorong saat ricuh terjadi.
- Aksi pemalangan jalan sempat terjadi pada malam hari di Sorong (depan Ramayana Mall) dan pada pagi hari Jumat (29 Agustus) Jalan Yos Sudarso Sanggeng (tepatnya di depan Bank Mandiri, BRI dan Bank Papua). Namun berangsur pulih setelah sejumlah aparat diturunkan untuk membuka jalan.
- Forkopinda Provinsi PBD melalui Gubernur Elisa Kambu, telah meminta kepada institusi keamanan (polisi) untuk bertindak tegas terhadap para pihak dan aktor yang terlibat dalam aksi pengrusakan dan kericuhan di Kota Sorong. Ia menilai aksi protes yang berujung kericuhan dan pengrusakan fasilitas merupakan tindak pidana (kriminal) yang harus ditindak.
- Pernyataan gubernur Elisa Kambu tersebut kemudian menimbulkan respon balik yang beragam dari kalangan aktivis, pegiat HAM, maupun politisi di media sosial dan media massa.
- Jumat, 29 Agustus 2025, Tim Advokasi Keadilan Untuk Rakyat Papua LP3BH Manokwari (Advokat Thresje Jullianty Gasperzs, SH dan Advokat Pither Ponda Barani, SH) telah tiba di Makassar dan bertemu keempat Terdakwa Dugaan Tindak Pidana Makar NRFPB asal Sorong di Rutan Makassar. Tim advokad kemudian memberikan surat kuasa untuk ditanda tangani keempat Tapol demi kepentingan pendampingan hukum dari para Advokat dan Pengacara LP3BH.
Dampak Lanjutan
- Pada Jumat, 29 Agustus 20205, pukul 16:45 sore, terjadi penangkapan paksa terhadap Dedi Goram (anak Tapol NRFPB, Abraham Goram Gaman) di rumahnya di bukit Klademak III, belakang Ramayana, beserta ketiga aktivis Solidaritas Rakayat Pro Demokrasi Se-Soraong Raya bernama Aves Susim, Elisa Bisulu dan Maikel Wafom. Penangkapan ini memicu reaksi protes spontan dari warga setempat dan terjadi kericuhan di area jalan raya depan Ramayanan Mall.
- Warga juga melakukan long mars ke Mapolres Sorong Kota untuk meminta dikeluarkannya belasan warga yang ditangkap, termasuk para aktivis Solidaritas dan keadilan bagi 4 Tapol NRFPB yang dipindahkan paksa ke Makassar.
- Di hari yang sama, melalui pendekatan yang dilakukan perwakilan MRP PBD, DPR PBD Jalur Otsus, Forum Lintas Suku dan tokoh adat, akhirnya 16 warga yang ditahan pihak Polresta Kota Sorong dibebaskan. Namun 7 orang yang diduga sebagai aktor dibalik kericuhan Sorong masih ditahan.
- Pada Sabtu malam 30 Agustus 2025, massa membakar ban dan memalang jalan utama di area tugu Manunggal ABRI di Manggoapi Amban, yang kemudian pada esok paginya (Minggu, 31 Agustus) terjadi pembubaran paksa massa di lokasi tersebut oleh pihak Kepolisian yang menyebabkan kericuhan.
(*) Kronologi ini disusun Julian Haganah Howay (redaksi Wene Buletin), dengan mengacu pada berbagai sumber data dan perkembangan situasi lanjutan.