
Gambar ilustrasi (doc: wenebuletin)
PADA Rabu dini hari, 27 Agustus 2025, Sorong mendadak terjerembab dalam kekacauan. Jalanan yang biasanya ramai dengan aktivitas pelabuhan dan lalu lintas kota berubah menjadi medan bentrokan.
Asap gas air mata bercampur dengan teriakan massa, batu beterbangan, kaca kantor pemerintahan pecah, rumah pribadi dan mobil dinas gubernur Papua Barat Daya, Elisa Kambu dirusak, dan aparat kewalahan menahan gelombang amarah.
Pemicu kericuhan tampak sederhana: pemindahan empat tahanan politik Negara Federal Republik Papua Barat (NRFPB): Abraham Goram Gaman, Maksi Sangkek, Piter Robaha, dan Nikson Mai, dari Sorong ke Makassar untuk menjalani sidang.
Namun, di balik peristiwa yang seolah administratif itu, tersembunyi bara panjang konflik struktural yang selama puluhan tahun tak pernah padam.
Bagi keluarga dan kelompok solidaritas pendukung mereka, pemindahan itu adalah bentuk penghinaan. “Mengapa selalu dipindahkan ke luar Papua? Apa pengadilan di Papua tidak sah?” begitu kira-kira kegelisahan mereka.
Pemerintah Indonesia melalui institusi penegakan hukum (Kejaksaan) dan keamanan (kepolisian) menyebut pemindahan tahanan politik NRFPB dilakukan untuk menjalani sidang dilakukan dengan alasan keamanan. Namun publik justru melihatnya sebagai ketidakadilan hukum yang terus berulang.
Aksi protes yang berujunag kericuhan ini bukan sekadar letupan emosi sesaat. Ini adalah bagian dari pola panjang di Papua: luka lama yang dibungkus dengan perban Otonomi Khusus (Otsus). Tapi tak pernah benar-benar disembuhkan.
Luka Struktural yang Menganga
Papua adalah provinsi dengan lanskap alam yang kaya, tetapi ironisnya memiliki angka kemiskinan, gizi buruk, dan kematian ibu-melahirkan tertinggi di Indonesia.
Data BPS dan UNDP menunjukkan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua Barat Daya masih berada di urutan terbawah secara nasional.
Laporan Komnas HAM 2024 bahkan menyoroti bahwa sebagian besar kasus kekerasan di Papua tidak diselesaikan secara transparan. Praktik impunitas aparat dan diskriminasi hukum membuat masyarakat kehilangan kepercayaan.
Human Rights Watch dalam laporan 2023 juga menyebut Papua sebagai salah satu wilayah dengan pelanggaran HAM tertinggi di Indonesia.
Inilah yang oleh Johan Galtung disebut ‘kekerasan struktura’l: kondisi sosial-politik-ekonomi yang menempatkan sekelompok orang pada kerentanan sistematis.
Ketidakadilan itu tidak selalu hadir dalam bentuk tembakan senjata, borgol dan penjara. Tetapi terasa setiap hari dalam akses kesehatan yang timpang, jalanan rusak, sekolah yang tak layak, marginalisasi orang Papua kian mencolok, migranisasi dan perebutan ruang-ruang hidup orang Papua, pelanggaran HAM, eksploitasi SDA, hingga rasa tidak didengar.
Kerusuhan Sorong hanyalah puncak gunung es. Di bawahnya ada perasaan ‘relative deprivation’ (Gurr, 1970), dimana tercipta jurang lebar antara harapan dan kenyataan. Papua dijanjikan kesejahteraan lewat Otsus yang terkesan hanya tipu-tipu dan jebakan, tapi yang dirasakan sering kali justru marginalisasi.
Dari Demonstrasi ke Kekacauan: Logika Kekerasan Kolektif
Sosiolog Charles Tilly pernah menulis bahwa protes berubah menjadi kerusuhan ketika klaim massa bertemu dengan represifnya negara. Logika itu berlaku di Sorong.
Awalnya, demonstrasi di depan Polresta Sorong berlangsung damai. Massa solidaritas ingin menuntut agar empat Tapol NRFPB tetap diadili di Sorong atau Papua.
Namun saat mereka (Tapol) dipindahkan ke Bandara Domine Eduard Osok Sorong untuk diterbangkan ke Makassar pada pada dini hari Rabu, 27 Agustus 2025 guna menjalani persidangan di Makassar pada 28 Agustus, situasi justru memburuk.
Polisi menembakkan gas air mata. Massa melempar batu. Emosi berbalas emosi. Hingga pagi menjelang, Sorong terbakar oleh amarah. Aksi protes dan kemarahan pun berlanjut ke Manokwari pada Jumat malam, 28 Agustus dan paginya 29 Agustus 2025.
Kericuhan di Sorong juga menyasar kantor gubernur, gedung pengadilan, rumah jaksa, bahkan rumah dinas walikota. Sedikitnya 17 orang ditangkap. Seorang warga tertembak dan beberapa warga sipil terluka.
Media internasional seperti BBC melaporkan adanya korban akibat tembakan, meski klaim itu belum diverifikasi. Apapun versinya, kerusuhan ini membuktikan satu hal: pendekatan keamanan yang represif hanya memperbesar ketidakpercayaan.
Jika kita menengok keluar, pola Papua bukan hal baru. Timor Leste, Sudan Selatan, hingga Irlandia Utara pernah berada di persimpangan serupa.
Timor Leste (1999) misalnya, pendekatan militer justru memperkuat aspirasi merdeka, hingga akhirnya referendum digelar dan Timor Leste memilih berpisah.
Sudan Selatan (2011), dimana konflik struktural, eksploitasi sumber daya, dan marginalisasi berujung pada perang panjang, yang akhirnya melahirkan negara baru.
Irlandia Utara (1998) juga menunjukan situasi sebaliknya. Dialog politik inklusif lewat Perjanjian Jumat Agung berhasil meredakan konflik identitas-agama yang berlangsung puluhan tahun.
Papua saat ini masih berada pada jalur pertama: pendekatan represif. Otsus memang ada, tetapi dianggap simbolik, gagal, mandek, dan tidak memberi kuasa substantif. Komnas HAM RI berperan, tapi dengan kewenangan terbatas.
Bandingkan dengan Irlandia Utara yang punya Komisi HAM independen dan otonomi luas.
Sorong dan Polarisasi Identitas
Aksi protes yang berujung kericuhan di Sorong juga memperlihatkan polarisasi identitas yang semakin tajam. Di satu sisi, negara dan pemerintah memaksakan narasi nasionalisme Indonesia; di sisi lain, masyarakat Papua membawa narasi sejarah Pepera 1969 yang dianggap cacat, perudingan, referendum dan tuntutan penentuan nasib sendiri.
Ketika pemindahan Tapol NRFPB dilakukan tanpa melibatkan publik Papua, pesan simboliknya jelas: suara lokal tidak dianggap penting. Itu bukan hanya soal prosedur hukum, melainkan soal martabat identitas.
Laporan LIPI 2023 mencatat adanya perbedaan pandangan antara kelompok pro-integrasi dan pro-kemerdekaan. Polarisasi ini sering dimanfaatkan elit politik, baik lokal maupun nasional.
Akibatnya, Papua menjadi arena tarik-menarik kepentingan, sementara masyarakat akar rumput tetap hidup dalam ketidakpastian.
Kericuhan Sorong pada 27 Agustua adalah alarm keras. Jika negara terus bersikeras dengan pendekatan keamanan, Papua akan semakin menjauh dari Indonesia, baik secara emosional maupun politik.
Dengan melihat situas ini, ada lima langkah strategis yang bisa ditempuh. Pertama, reformasi sistem hukum. Hentikan praktik diskriminatif pemindahan tahanan ke luar Papua. Bentuk pengadilan HAM khusus di Papua.
Kedua, desentralisasi fiskal yang adil. Dana Otsus harus benar-benar menyentuh masyarakat, bukan berhenti di elit birokrasi. Ketiga, perlunya dialog multikultural. Libatkan tokoh adat, gereja, pemuda, bahkan kelompok pro-kemerdekaan dalam dialog terbuka.
Keempat, perlunya pelibatan lembaga pemantau independen. Bentuk komisi keadilan dan rekonsiliasi dengan mandat kuat dan keanggotaan lintas pihak, termasuk internasional.
Kelima, pengakuan budaya dalam pendidikan. Kurikulum di Papua harus memuat sejarah dan budaya lokal, bukan sekadar nasionalisme Melayu, Jawa dan Jakarta.
Aksi protes yang berujung kericuhan Sorong bukan sekadar berita tentang kekacauan, pengrusakan dan kriminal. Ini adalah cermin retak keadilan di Papua.
Cermin yang memperlihatkan betapa jauhnya jarak antara janji konstitusi Indonesia dan kenyataan di lapangan.
Di hadapan dunia, Indonesia selalu menegaskan Papua adalah bagian sah dari NKRI. Tetapi di hadapan rakyat Papua, pertanyaan mendasarnya tetap menggema: apakah negara Indonesia benar-benar hadir?
Jika jawaban itu terus ditunda, peristiwa Sorong 27 Agustus 2025 hanya akan jadi bab awal dari konflik yang lebih besar. Lalu pada akhirnya, yang kalah bukan hanya Papua, tapi Indonesia secara keseluruhan.
(*) Arkilaus Baho adalah penulis artikel ini. Ia adalah aktivis Papua yang meminati studi dinamika politik nasional dan internasional. Tulisan ini dirangkum dari artikel penulis berjudul “Analisis Strategis Kerusuhan di Sorong: Konflik Struktural, Dampak, dan Rekomendasi Kebijakan dalam Perspektif Teori dan Komparasi Global”.