
Gambar ilustrasi (doc: wenebuletin)
PAGI itu, Minggu 17 Agustus 2025, langit Manokwari tampak cerah oleh sinar matahari yang mulai meninggi.
Angin laut dari Teluk Doreri bertiup perlahan membawa bau asin ke daratan.
Yonas (40 tahun) seorang pria Papua asal Serui, menggandeng tangan kedua anaknya, Mika (kelas 4 SD) dan adiknya, Nela (kelas 2 SD).
Mereka baru pulang dari ibadah sekolah minggu yang kebetulan bersamaan dengan HUT Kemerdekaan RI ke 80.
Untuk pulang ke rumah, Yonas dan kedua anaknya melewati jalan raya di Jalan Pahlawan Sanggeng yang saat itu sedang ramai. Jalan ini dipalang karena ada kegiatan upacara bendera.
Di sana, sekelompok aparat berseragam lengkap dan bersenjata sudah berbaris rapi. Sebuah tiang tinggi berdiri di halaman depan Taman Makam Pahlawan, dan seutas kain merah putih pelan-pelan ditarik naik.
Polisi dan tentara berdiri tegap. “Semua berhenti! Hormat bendera!” teriak salah satu polisi yang sedang berjaga sambil berdiri dengan sikap tegap, memerintah warga yang kebetulan lewat atau hendak menyaksikan prosesi upacara bendera.
Yonas menarik napas panjang. Ia tahu aturan itu. Ia genggam tangan Mika lebih erat.
Namun tiba-tiba Mika menatap ke atas tiang, lalu menoleh ke bapaknya.
“Bapa… itu kitong pu bendera ka?” tanyanya polos, dengan suara cukup keras terdengar.
Orang-orang di sekitar melirik. Beberapa aparat mengerutkan dahi. Yonas tercekat, jantungnya berdegup kencang. Ia mencoba menahan diri, lalu menjawab pelan, “Diam dulu, nak…, mari kitong hormat bendera.”
Tapi Nela ikut nimbrung dengan suara lantang, “Tapi bapa… itu bukan kitong pu bendera. Kitong pu bendera itu bintang fajar! Bukan merah putih!”
Hening sejenak. Polisi yang berdekatan melotot ke arah mereka. Yonas buru-buru membungkuk sedikit, berusaha memberi isyarat agar anak-anaknya diam.
“Sudah. Jangan bicara sembarang. Hormat saja dulu,” bisiknya.
Namun Mika malah berbisik balik, “Bapa, kenapa kitong harus hormat kalau itu bendera orang lain? Itu bukan tong pu bendera Papua!”
Bendera sudah ditarik mencapai ujung tiang. Penghormatan proses penaikan bendera pun selesai. Yonas bersama kedua anaknya pulang lebih dulu sebelum upacara selesai.
Malamnya, di rumah kecil mereka yang tidak jauh dari Taman Makam Pahlawan, tempat upacara bendera berlangsung di pagi hari, Yonas termenung di kursi bambu. Mengingat insiden tadi pagi.
Ia memandangi dinding rumah yang penuh dengan coretan kapur warna-warni. Di sana, Mika dan Nela sering menggambar pemandangan alam Papua: matahari, burung cenderawasih, dan…, bintang fajar.
“Bapa…, bu guru bilang kalo hormat bendera merah putih tanda kitong cinta NKRI. Tapi di tong teman pu HP, di TV, di video, dorang tunjuk bendera lain. Kitong bingung,” kata Mika sambil duduk di pangkuan bapaknya.
Yonas tersenyum pahit. “Anak-anak…, dunia sudah berubah. Sekarang semua ada di HP, ada di facebook, ada di TV. Jadi ko tra bisa tutup mata lagi.”
Nela menimpali cepat. “Biasa di sekolah juga, teman-teman bilang, bendera Papua ada di gunung-gunung, orang tua cerita, ada di internet. Jadi kitong pu bendera itu bintang fajar. Betul ka bapa?”
Pertanyaan itu menghantam Yonas ayahnya. Di benaknya, terbayang wajah istrinya, yang dulu jadi korban saat demonstrasi ditumpas aparat. Ia sendiri pernah diseret dan dipukul polisi hanya karena kedapatan menyimpan gambar bintang fajar di tas.
Ia menghela napas panjang. “Bapa tra bisa cerita semua sekarang. Tapi kamu dua ingat baik-baik…, bendera itu bukan sekadar kain. Itu lambang. Itu cerita. Itu luka, itu harapan.”
Mika menatap tajam. “Jadi bapa… kalau begitu… itu tadi memang bukan kitong pu bendera.”
******
Keesokan harinya, Senin di sekolah, para guru mengumpulkan semua murid untuk upacara. Merah putih kembali dikibarkan karena 17 Agustus jatuh pada hari minggu. Anak-anak berdiri.
Tetapi sebagian kecil dari mereka mulai berbisik, bahkan ada yang sengaja menunduk tidak hormat. Salah seorang guru marah, “Hei! Kenapa kalian tidak hormat bendera?!”
Mika dengan suara pelan tapi tegas menjawab, “Itu bukan kitong pu bendera, ibu guru.”
Guru terdiam. Anak-anak lain mulai ikut bergumam: “Iya… itu bukan kitong pu bendera…”
Suasana menjadi tegang. Seorang petugas sekuriti yang ditugaskan menjaga sekolah melangkah maju, menatap keras. “Siapa yang ajar kalian bicara begitu ee..?!” bentaknya.
Beberapa anak ketakutan. Tapi Mika berdiri maju. Dengan mata kecilnya yang tajam, ia berkata, “Bapa bilang bendera itu lambang. Dan kitong tahu lambang Papua itu bintang fajar.”
Guru langsung pucat. Ia memandang ke arah sekuriti, lalu buru-buru berkata, “Anak-anak… diam! Jangan bicara sembarang. Semua hormat sekarang juga!”
Namun sebagian murid tetap menunduk. Rasa takut ada, tapi suara bisikan mereka lebih kuat:
“Itu bukan kitong pu bendera…”
*****
Siang itu, Yonas dipanggil ke kantor distrik. Dua orang intel polisi duduk di depannya.
“Bapa Yonas, kami dengar anak-anak di sekolah bilang begitu. Jangan coba ajar mereka hal-hal separatis. Ini bisa bikin masalah,” kata salah satunya dengan nada dingin.
Yonas menunduk, gugup. Ia tahu betul risikonya. “Sa tra pernah ajar apa-apa, pak. Anak-anak belajar sendiri. Dari HP, dari cerita teman, dari kampung. Sa biasa bilang, bendera itu lambang. Itu saja.”
Intel itu mendengus. “Tapi dorang bisa bilang itu bukan bendera mereka. Anak SD sudah bisa melawan. Itu pasti ada yang hasut.”
Yonas hanya diam. Di dalam hatinya, ia tahu, itu bukan soal hasutan. Itu soal generasi baru Papua yang tumbuh dengan cerita luka, dengan gambar-gambar yang beredar bebas, dengan video yang tak bisa lagi dibatasi.
Malamnya, Mika dan Nela kembali menggambar di dinding rumah. Kali ini gambar mereka lebih besar: bintang fajar dengan warna biru, merah, dan putih.
“Bapa,” kata Nela sambil tersenyum, “kalau besok ada orang tanya lagi, kitong tetap bilang: itu bukan kitong pu bendera.”
Yonas menatap kedua anaknya. Ada rasa takut, tapi juga harapan. Di luar, suara jangkrik mengisi malam.
Dalam hati kecilnya, ia sadar: nasionalisme Papua kini sudah bersemayam di jiwa anak-anak, bahkan sebelum mereka benar-benar mengerti arti kata merdeka.
JHH