
Gambar ilustrasi (doc: wenebuletin)
SLOGAN “Merah Putih untuk Semua” terdengar gagah, membangkitkan imajinasi persatuan bangsa, dan menegaskan simbol kebangsaan Indonesia.
Namun, di balik retorika itu, ada kenyataan pahit: slogan yang digembar-gemborkan negara ternyata tidak pernah benar-benar mewakili semua orang, terutama rakyat Papua.
Papua, yang dipaksa masuk ke pangkuan Republik Indonesia pada 1963, memiliki sejarah, memori kolektif, dan luka panjang yang tidak sama dengan wilayah lain. Di tanah ini, Merah Putih sering kali hadir bukan sebagai simbol persatuan, melainkan ancaman.
Ketidakadilan struktural, perampasan tanah, kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM, hingga minimnya representasi politik, membuat slogan nasionalisme itu terdengar bagai janji kosong.
Kondisi pengungsi Nduga yang terlantar tanpa kepastian, atau kasus masyarakat adat Wanam yang kehilangan 2 juta hektar tanah akibat ekspansi oligarki besar seperti Haji Isam, memperlihatkan wajah asli dari slogan negara yang justru menindas rakyatnya sendiri.
Produk hukum Indonesia lebih sering menjadi alat legalisasi perampasan tanah daripada melindungi hak ulayat masyarakat adat Papua.
Papua adalah ladang subur bagi kekayaan alam: emas, tembaga, nikel, kayu, dan minyak. Namun, masyarakat adat seperti Amungme dan Kamoro justru menjadi penonton di tanah mereka sendiri dengan kehadiran perusahaan tambang multi nasional seperti Freeport.
Alih-alih mendapatkan pengakuan, mereka dipinggirkan dalam narasi pembangunan. Tak heran, bagi banyak orang Papua, Merah Putih bukanlah perlambang cinta tanah air, tapi simbol pemaksaan integrasi.
Integrasi yang terlambat dan penuh paksaan ini menambah jarak emosional antara Papua dengan simbol negara Indonesia. Ini memberi kesan bahwa Pemerintah Indonesia gagal memerah-putihkan Papua!
Nasionalisme Seremonial vs Dehumanisasi Papua
Film-film bertema nasionalisme, misalnya Merah Putih: One for All (2023), hanya menampilkan bendera, heroisme militer, dan simbol-simbol negara, tanpa menyentuh isu riil: ketidakadilan sosial, pelanggaran HAM, atau kerusakan lingkungan.
Papua hampir tak pernah hadir dalam narasi nasional secara bermakna. Bila pun muncul, Papua sering direduksi dalam bingkai militeristik atau pembangunan besar yang justru menyingkirkan masyarakat adat (Chauvel, 2005).
Seperti yang dikatakan Partha Chatterjee (1993), nasionalisme “resmi” sering kali gagal mewakili rakyat marjinal. Inilah yang terjadi di tamah Papua: ada bendera, ada slogan, tetapi tidak ada keadilan.
Kasus Haji Isam yang menguasai jutaan hektar tanah adat hanyalah satu contoh. Di bawah bayang-bayang oligarki predatoris (Winters, 2011), negara berubah dari pelindung rakyat menjadi fasilitator kapitalisme ekstraktif.
Data yang dihimpun dari Tempo.co (2023), Katadata (2023), dan Lucas & Warren (2013) memperlihatkan dampak nyata perampasan tanah terhadap Papua. Kekayaan alam dan apa yang dimiliki Papua, sedang dan terus dirampas.
Dari aspek sosial misalnya, masyarakat adat terusir dari tanahnya, dan dalam jangka panjang kehilangan identitas budaya lokal. Dari aspek ekonomi, hilangnya sumber penghidupan sehari-hari, lalu bergeser menjadi ketimpangan ekonomi yang makin tajam.
Di sektor lingkungan kini lebih miris, deforestasi dan degradasi tanah, yang berujung pada krisis iklim serta kehancuran ekosistem. Pada aspek politik, telah terjadi marginalisasi dalam pengambilan keputusan, yang kemudian mengikis habis kepercayaan rakyat Papua pada negara.
Dampak jangka panjang ini menunjukkan bahwa perampasan tanah bukan sekadar soal agraria, tetapi menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat Papua.
Dalam potret yang lain terkait krisis lingkungan di tanah Papua, penebangan hutan skala masif, pertambangan ilegal, serta konversi lahan adat menjadi perkebunan besar memperburuk kerusakan ekologis di Papua (Mongabay, 2023). Fenomena ini, sebagaimana disebut Tsing (2005), adalah friction antara kapitalisme global dengan ekologi lokal.
Kerusakan di Papua bukan hanya masalah lokal. Ini ikut memperparah krisis iklim global, dari deforestasi hingga emisi karbon. Padahal Indonesia telah berkomitmen pada Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya poin ke-13: Climate Action. Namun, komitmen itu sering kandas di lapangan karena izin tambang dan perkebunan terus digelontorkan.
Orang Papua sebagai bagian dari masyarakat adat (pribumi) internasional juga terus mengalami pelanggaran HAM dan represi sistemik karena tercekiknya ruang-ruang demokrasi untuk menyampaikan aspirasi politiknya. Terutama yang terkait dengan tuntutan penentuan nasib sendiri.
Papua adalah salah satu wilayah paling banyak mencatat pelanggaran HAM di Indonesia. Amnesty International dan Human Rights Watch (2023) mendokumentasikan pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, pembatasan kebebasan berekspresi, dan represi terhadap gerakan sipil.
Seperti ditegaskan Young (1990), keadilan tidak hanya soal distribusi materi, tetapi juga pengakuan politik. Di Papua, negara Indonesia seakan hadir sebagai entitas represif, bukan pelindung, pengayom dan pembawa perubahan positif.
Bahkan dalam situasi darurat kemanusiaan yang dialami para pengungsi di Nduga dan sejumlah tempat yang terdampak konflik, negara dan pemerintah Indonesia gagal memberikan bantuan memadai (Jubi.co.id, 2023).
Padahal, John Rawls (1971) mengingatkan, negara justru harus lebih dulu melindungi kelompok paling rentan. Tapi ini tidak terjadi dalam konteks Papua sebagai wilayah yang masih berstatus pendudukan dan kolonisasi.
Politik Representatif yang Macet
Meski ada Otonomi Khusus, keterwakilan politik Papua di tingkat nasional masih minim dan tidak substantif. Banyak kebijakan besar tentang Papua justru diputuskan tanpa melibatkan suara orang Papua sendiri.
Dalam teori representasi Pitkin (1967), representasi bukan sekadar hadir di parlemen, tetapi mampu mempengaruhi kebijakan. Fakta bahwa Papua tidak punya aktor politik yang benar-benar bisa menyuarakan aspirasi mereka, menunjukkan kegagalan demokrasi substantif.
Amartya Sen (2009) menambahkan, keadilan seharusnya dilihat dari kemampuan orang menjalani kehidupan yang mereka anggap berharga. Jika tanah, identitas, dan hak politik dirampas, maka slogan “Merah Putih untuk Semua” hanyalah retorika.
Merah Putih mungkin saja bisa benar-benar berkibar anggun untuk semua sesuai slogan populernya, khususnya di Papua, seandainya negara dan pemerintah Indonesia dapat melakukan hal-hal sebagai berikut:
Misalnya, mereformasi hukum dan perlindungan bagi hak adat sejak Otsus Papua berlaku dua dekade silam. Atau dengan merevisi UU Otsus agar betul-betul mengakui hak ulayat, dan menindak tegas perampasan tanah.
Melaksanakan pembangunan berkelanjutan dan partisipatif dengan menjalankan SDGs secara penuh, dengan melibatkan masyarakat adat sebagai aktor utama, termasuk moratorium tambang dan perkebunan tanpa persetujuan bebas (Free, Prior and Informed Consent).
Penguatan representasi politik, salah satunya dengan afirmasi kuota masyarakat adat di parlemen, lembaga representatif khusus Papua, dan dialog terbuka dengan pemerintah pusat. Perlunya rekonstruksi narasi nasionalisme. Yakni melalui pendidikan nasionalisme yang kritis dan inklusif, serta produksi budaya yang menampilkan keragaman, bukan sekadar simbol.
Frantz Fanon (1961) sudah mengingatkan, nasionalisme pascakolonial yang tidak dibarengi perubahan struktural hanya akan melahirkan kolonialisme baru. Papua adalah cermin peringatan itu.
Merah Putih akan selamanya menjadi janji kosong bila tidak diikuti keadilan sosial, perlindungan lingkungan, dan penghormatan HAM. Nasionalisme tidak bisa berhenti pada simbol semata. Tapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata: melindungi tanah, manusia, dan masa depan bersama.
Cinta Indonesia bukan hanya tentang mengibarkan bendera, tetapi menjaga agar tak ada satu pun rakyatnya yang merasa asing di tanah air sendiri.
(*) Arkilaus Baho adalah penulis artikel ini. Ia seorang aktivis Papua yang meminati studi dinamika politik nasional dan internasional. Artikel ini dirangkum dan diedit kembali sesuai kepentingan redaksi dari artikel penulis berjudul “Merah Putih untuk Semua: Sebuah Janji Kosong di Tengah Ketidakadilan. Analisis Strategis Ketimpangan Struktural, Politik Representatif, dan Keadilan Sosial di Papua dalam Konteks Nasionalisme Indonesia”