
Gambar ilustrasi (doc: wenebuletin)
Sorong, Papua Barat Daya – Di sebuah ruang pemeriksaan di Mapolres Sorong, 11 Agustus 2025, seorang pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Pos Sorong berdiri di depan pintu.
Ia datang bukan untuk memprovokasi atau mencari sensasi. Melainkan menjalankan tugas mulia: mendampingi kliennya yang dipanggil untuk klarifikasi terkait dugaan pelanggaran profesionalitas seorang anggota polisi.
Namun, langkahnya tertahan. Anggota Propam Polres Sorong melarangnya masuk. Alasannya tidak jelas.
Yang pasti, larangan ini bukan sekadar insiden kecil. Bagi LBH Papua, ini adalah pelanggaran hak asasi manusia, pelanggaran hukum, dan tamparan bagi prinsip-prinsip peradilan yang adil (fair trial).
Kasus ini bermula dari kisah asmara antara klien LBH dan seorang anggota kepolisian. Keduanya memang belum menikah secara sah. Tapi hubungan mereka sudah mendapat restu keluarga dan bahkan tinggal serumah sejak 2022.
Persoalan pribadi itu kemudian merembet ke ranah hukum setelah muncul dugaan pelanggaran profesionalitas oleh sang anggota polisi.
Panggilan klarifikasi kepada klien LBH pun menjadi pintu masuk peristiwa yang lebih serius: penghalangan pendampingan hukum oleh aparat yang seharusnya justru menjamin hak tersebut.
Dijamin Undang-Undang, Bantuan Hukum Tak Boleh Dibatasi
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menegaskan bahwa advokat adalah profesi yang berhak memberikan jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan, mencakup konsultasi, pendampingan, pembelaan, dan tindakan hukum lainnya.
Lebih jauh, hak ini dilindungi pula oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang menjamin bahwa baik saksi, tersangka, maupun terdakwa berhak didampingi kuasa hukum.
Prinsip ini bukan sekadar formalitas. Ini adalah bagian dari fair trial yang diakui oleh standar internasional seperti International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia.
“Pasal demi pasal dalam hukum Indonesia jelas melindungi hak setiap orang untuk mendapatkan pendampingan advokat,” jelas Ambrosius Klagilit, pengacara muda Papua dari LBH Papua Pos Sorong, melalui rilis yang diterima Wene Buletin.
Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 juga mengatur secara eksplisit implementasi prinsip dan standar HAM dalam tugas kepolisian. Di situ tertulis, polisi wajib menghormati dan memfasilitasi hak warga, termasuk hak mendapatkan bantuan hukum.
Menghalangi advokat, menurut LBH Papua, sama saja melanggar amanat ini. “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil,” demikian bunyi Pasal 28D Ayat 1 UUD 1945.
Hak ini dipertegas dalam Pasal 3 Ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang menyebutkan bahwa semua orang berhak mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Sementara Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum pun menegaskan, penerima bantuan hukum berhak mendapatkan pendampingan sampai perkara selesai atau memiliki kekuatan hukum tetap.
“Tindakan menghalangi pendampingan, apalagi tanpa dasar hukum, menurut LBH Papua, adalah upaya membatasi korban mendapatkan keadilan.”
Pasal 17 UU HAM bahkan secara tegas menyatakan: setiap orang berhak memperoleh keadilan melalui proses peradilan yang bebas, tidak memihak, dan objektif.
Pelanggaraan Etik Kepolisian, Bukan Sekadar Kasus Sorong
Di ranah disiplin internal, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri melarang tindakan yang menghalangi atau mempersulit pihak yang dilayani sehingga menimbulkan kerugian.
Dalam kacamata LBH Papua, insiden ini adalah pelanggaran terang-terangan terhadap aturan tersebut.
Kasus di Sorong ini mengingatkan pada pola serupa di berbagai wilayah Indonesia, di mana advokat kerap dipersulit saat mendampingi klien. Fenomena ini bukan hanya melukai profesi hukum, tetapi juga memperlebar jurang ketidakpercayaan publik terhadap aparat penegak hukum.
Sejarah hukum di Indonesia menunjukkan bahwa setiap kali hak pendampingan hukum diabaikan, yang paling menderita adalah masyarakat kecil, terutama korban yang tidak memiliki sumber daya untuk melawan sistem.
Di berbagai daerah, advokat kerap dipersulit, bahkan di Jakarta dan Surabaya saat mendampingi klien yang berhadapan dengan aparat. Misalnya, pada 2019, LBH Jakarta melaporkan pengacara mereka dihalangi masuk ke ruang pemeriksaan di Polres Jakarta Timur.
Kemudian pada 2023, di Manokwari, Papua Barat, seorang pengacara kasus lingkungan dipaksa keluar dari ruang BAP oleh penyidik. Pola ini menunjukkan satu hal: aparat sering kali memposisikan advokat sebagai pengganggu, bukan mitra penegakan hukum.
Di Tanah Papua, yang telah lama dihantui ketidakadilan struktural, insiden seperti ini menambah daftar panjang persoalan penegakan hukum yang belum berpihak pada rakyat.
Karena itu, LBH Papua Pos Sorong menuntut agar Polres Sorong menindak tegas pihak yang menghalangi pendampingan hukum dan memastikan kejadian serupa tidak terulang. “Ini bukan hanya soal advokat yang dihalangi, tapi soal hak dasar korban yang dirampas,” tegas LBH dalam rilisnya.
Kasus ini kini bukan sekadar perselisihan personal atau administratif. Ini adalah ujian bagi komitmen negara pada konstitusi dan prinsip-prinsip HAM.
Di Sorong, sebuah pintu menjadi simbol: di satu sisi ada korban yang berhak mendapat pendampingan hukum; di sisi lain ada aparat yang seharusnya menjamin hak itu. Tetapi pintu itu tidak terbuka.
Di tengah sorotan publik, jawaban Polres Sorong akan menentukan apakah hukum benar-benar menjadi panglima, atau sekadar semboyan yang kehilangan makna.
Keadilan, sekali lagi, seperti di banyak kisah di Papua, harus berjuang menembus tembok dan besi. Bukan hanya di ruang sidang, tetapi bahkan sejak di ruang pemeriksaan. (Julian Haganah Howay)