
Aksi Mahasiswa Raja Ampat di Sukabumi, Jawa Barat, menentang ekspansi tambang nikel di Raja Ampat (doc: Adolfince Golam & Asriel Mambraku)
Sukabumi, Jawa Barat – Di depan Gedung Juang 45 Sukabumi, Jawa Barat, Senin (12/5/2025), sekelompok mahasiswa asal Raja Ampat berdiri tegak melakukan aksi kreatif photo opportunity. Di tangan mereka terbentang kertas pamflet dengan pesan tajam: “Segera Cabut IUP PT Mulia Raymond Perkasa dan Evaluasi Semua Perizinan Tambang di Pulau-Pulau Raja Ampat.”
Bukan sekadar unjuk rasa biasa. Ini adalah jeritan hati anak-anak Papua yang gelisah melihat kampung halamannya dijual atas nama pembangunan dan transisi energi.
Mereka berasal dari kampus-kampus di kota studi Sukabumi. Di tanah rantau, para mahasiswa ini menyalakan suara protes dari jauh: mereka tidak tinggal diam saat tanah kelahiran mereka—Raja Ampat, surga dunia yang kaya akan keanekaragaman hayati, berubah menjadi target investasi pertambangan nikel.
Bagi dunia, Raja Ampat adalah nama yang identik dengan keindahan laut dan gugusan pulau eksotik. Perairannya sebening kristal, terumbu karangnya dihuni biota laut yang langka, dan hutannya menyimpan kekayaan hayati yang belum seluruhnya terjamah.
Pada Mei 2023, UNESCO menganugerahi Raja Ampat sebagai Global Geopark, sebuah pengakuan atas nilai ekologis dan geologis kawasan ini. Namun, di balik sorotan wisata dan promosi pemerintah, ada sisi gelap yang jarang terdengar: ekspansi tambang nikel yang mulai merambah pulau-pulau kecil di Raja Ampat.
Hutan ditebang, tanah dikuliti, laut mulai keruh. Korporasi datang dengan izin yang diteken negara, dan masyarakat adat hanya bisa bertanya-tanya: siapa sebenarnya yang akan diuntungkan?
Anak-Anak Raja Ampat Angkat Suara
“Bagaimana mungkin simbol Raja Ampat ada di uang seratus ribu rupiah, tapi tanahnya digadaikan demi tambang?” tanya Adolfince Dormina Yapen Golam, mahasiswi Raja Ampat di Sukabumi.
Ia menyuarakan keresahan kolektif mahasiswa bahwa aktivitas tambang akan merusak kawasan konservasi bahari yang selama ini menjadi sumber kehidupan masyarakat pesisir. Adolfince, yang lahir dan besar dari hasil laut dan ladang orang tuanya, menolak keras narasi pembangunan yang mengorbankan alam.
“Kami tidak menolak pembangunan. Tapi kami menolak ketika pembangunan berarti menghancurkan hutan dan laut tempat kami bertumbuh,” katanya dengan suara bergetar.
Rencana eksploitasi tambang nikel di Pulau Manyaifun dan Batang Pele menjadi perhatian utama. Dengan luas konsesi mencapai 2.194 hektare yang dimiliki PT Mulia Raymond Perkasa (PT MRP), masyarakat khawatir dampaknya akan sangat luas: kehancuran ekosistem, hilangnya sumber kehidupan nelayan, serta punahnya pengetahuan tradisional yang selama ini diwariskan turun-temurun.
Asriel Mambraku, aktivis muda lainnya, mengatakan bahwa masyarakat lokal tidak memiliki pengetahuan tentang eksploitasi ekstraktif. “Kami dibesarkan untuk menjaga alam, bukan menambangnya. Pemerintah mestinya melindungi kami, bukan memberi izin kepada tambang untuk merusak tanah leluhur,” ujarnya.
Antara Harapan dan Kehancuran
Gerakan mahasiswa ini bukan hanya aksi sesaat. Mereka ingin mengingatkan publik dan pemerintah bahwa Raja Ampat bukan tanah kosong. Wilayah ini dihuni oleh manusia, punya sejarah, budaya, dan ekologi yang telah menjaga harmoni selama ribuan tahun.
Aktivitas tambang, kata mereka, adalah ancaman nyata bagi masa depan. “Kami tidak anti investasi,” tegas Adolfince. “Tapi kami ingin investasi yang selaras dengan alam, bukan yang menghapus masa depan kami demi keuntungan sesaat.”
Dengan suara tegas, mahasiswa menyerukan kepada Menteri ESDM Bahlil Lahadalia agar mencabut izin tambang nikel PT MRP. Mereka juga mendesak Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Dirjen Konservasi SDA untuk menjalankan mandat konstitusi: lindungi pulau-pulau kecil, tegakkan regulasi konservasi tanpa tebang pilih.
Di ujung orasinya, Adolfince menatap langit.
“Jika tanah kami habis, ke mana lagi kami akan pulang? Kami tidak ingin Raja Ampat hanya tinggal cerita indah dalam brosur wisata. Kami ingin anak cucu kami masih bisa menyelam di laut yang sama, memancing di karang yang sama, dan mengenal hutan yang sama seperti yang kami kenal sejak kecil.”
Di kota studi yang jauh dari kampung halaman, mahasiswa Raja Ampat terus menyuarakan protes. Mereka tahu bahwa suara kecil bisa menjadi badai jika terus digemakan.
Karena bagi mereka, tanah bukan sekadar komoditas. Ini adalah rumah, tempat hidup dan masa depan mereka bersama generasi mendatang. (Julian Haganah Howay)