
Gambar karikatur Mgr. Petrus Canisius Mandagi, Uskup Agung Merauke dan Proyek Strategis Nasional (PSN) Anim Ha, Merauke, Papua Selatan (Doc:fransiskanpapua.org)
Jayapura, Papua – Pada hari ketika umat Kristiani di seluruh dunia merayakan kebangkitan Kristus, komunitas awam Katolik di Papua menyerukan sebuah pekikan teologis dan politis yang mengguncang: “USMAN harus bangkit!” Namun, ini bukan seruan kebangkitan yang biasa.
Ini bukan tentang Tuhan yang kembali dalam kemuliaan untuk sekali lagi menaklukkan maut. Ini tentang nurani. Ini tentang keadilan. Ini tentang pengkhianatan terhadap umat.
“USMAN” merujuk pada Mgr. Petrus Canisius Mandagi, Uskup Agung Merauke, yang inisial namanya kini menjadi simbol krisis kepemimpinan rohani di Papua.
Dalam sebuah pernyataan publik yang kontroversial awal tahun ini, Uskup Agung Mandagi menyatakan dukungannya terhadap Proyek Strategis Nasional (PSN), gelombang besar program pembangunan infrastruktur dan ekspansi agribisnis di wilayah selatan Papua, yang dikenal sebagai Tanah Anim Ha.
Proyek-proyek yang disebut sebagai pembangunan ini, meski dipuji oleh negara sebagai instrumen kemajuan, oleh banyak orang Papua, terutama umat Katolik dilihat sebagai bentuk baru dari penjarahan kolonial, dilegitimasi oleh kekuasaan politik dan kini, dengan pilu, juga oleh sebagian Gereja.
“Ketika gembala memberkati serigala, domba-domba dibiarkan mati.”
Itulah suara hati yang menggema di dua paroki Keuskupan Jayapura: Paroki Kristus Terang Dunia di Waena dan Paroki Gembala Baik di Abepura, tempat berlangsungnya Aksi ke-22 dari gerakan Suara Kaum Awam Katolik Papua.
Pesan Paskah mereka sangat jelas: Kristus bangkit bukan untuk memberkati penindasan, melainkan untuk membebaskan yang tertindas! Jadi jika Gereja berhenti berdiri bersama umat, maka Gereja menjadi bagian dari mesin dosa itu sendiri.
Jeritan Tanah dan Umat
Proyek-proyek PSN di wilayah Anim Ha, Merauke, Papua Selatan telah menyebabkan hilangnya lebih dari 2 juta hektare tanah adat. Meminggirkan komunitas-komunitas Papua dari hutan suci mereka, tanah berburu, dan situs-situs spiritual mereka.
Atas nama food estate dan zona ekonomi, proyek-proyek ini telah membuka gerbang bagi transmigrasi, kehadiran militer, dan eksploitasi korporat. Dan kini, dengan restu Uskup Agung Mandagi, Gereja berisiko menjadi bagian dari kejahatan tersebut.
“Di mana Sang Gembala Baik ketika kawanan dombanya dimakan habis?” tanya Stenly Dambujai, seorang pemimpin awam dan salah satu penggagas aksi. “Apakah Uskup masih bersama umat, atau telah bergabung dengan Herodes dan Pilatus masa kini?”
Dalam bahasa teologi pembebasan, ini bukan sekadar skandal politik. Ini adalah krisis spiritual, pengkhianatan terhadap opsi preferensial Gereja bagi kaum miskin, pelanggaran terhadap Laudato Si’ ensiklik Paus Fransiskus tentang perawatan atas rumah bersama, dan penistaan terhadap makna kebangkitan Kristus.
“Ia bangkit bukan untuk membalas dendam,” ucap Chris Dogopia dalam refleksi Paskah yang menggugah, “melainkan untuk memulihkan perjanjian suci antara manusia dan ciptaan. Tapi kini, kita merayakan Paskah di tengah bumi yang diperkosa dan umat yang dibungkam.”
Ekosida, Spiritsida, Etnosida
Para pengunjuk rasa menuntut klarifikasi dan permintaan maaf terbuka dari Uskup Agung Mandagi. Namun lebih dari itu, mereka menuntut investigasi independen dari Vatikan atas apa yang mereka gambarkan sebagai serangan tiga lapis terhadap rakyat Papua:
Pertama: Ekosida, penghancuran sistematis terhadap ekosistem hutan di wilayah Anim Ha, Merauke, Papua Selatan. Kedua: Spiritsida, penistaan terhadap situs-situs suci dan pelanggaran terhadap tradisi spiritual masyarakat adat. Ketiga: Etnosida dan Genosida, penghapusan identitas Papua melalui penggusuran, militerisasi, dan asimilasi paksa.
Menurut pemantau komunitas, beberapa perusahaan yang terlibat dalam kegiatan PSN dengan dukungan militer telah dikaitkan dengan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk perampasan tanah, intimidasi, dan kerusakan lingkungan yang luas.
“Gereja tidak boleh diam,” tegas Stenly Dambujai. “Jika para uskup kami tidak mau bersuara, maka kami, umat awam, yang akan menyuarakannya.”
Kebangkitan dan Risiko Iman
Dalam homili Paskahnya, Paus Fransiskus menyerukan agar Gereja global menjadi “rumah sakit darurat bagi luka-luka dunia.” Bagi umat Katolik Papua, medan perangnya nyata, lukanya dalam, dan para tabibnya menghilang.
Di jantung aksi ini ada satu pertanyaan teologis yang mendalam: Apa arti kebangkitan di tanah yang masih basah oleh darah?
Jika Kristus sungguh bangkit, maka keadilan pun harus bangkit bersama-Nya. Jika Gereja sungguh mengikuti Dia yang Bangkit, maka Gereja harus berjalan bersama mereka yang terluka, bukan berpesta dengan mereka yang berkuasa.
Seruan “USMAN Harus Bangkit” bukan sekadar panggilan kepada seorang uskup. Ini adalah panggilan bagi Gereja untuk menemukan kembali jiwanya. Gereja yang harus kembali memilih: akan berpihak kepada siapa, rakyat atau kekuasaan, yang disalibkan atau para penyalib?
Saat fajar Paskah menyingsing di atas pegunungan dan hutan hujan Papua, suara-suara dari Waena dan Abepura, Kota Jayapura, Papua, mengingatkan kita: Kebangkitan tanpa keadilan, bukanlah kebangkitan sama sekali!!! (Julian Haganah Howay)