
Mama-mama Pedagang Papua saat pertemuan di pelatanran Gereja GKI Immanuel Boswezen, Kota Sorong.
Sorong, Papua Barat Daya – Di bawah langit Kota Sorong yang cerah dan sengatan terik matahari siang yang membakar kulit. Di pelataran samping gedung Gereja GKI Immanuel Boswezen, sejumlah mama-mama pedagang Papua duduk berkelompok pada Jumat (4/4/2025). Diantara kelompok ini terdapat beberapa pemuda dan bapak-bapak yang juga berprofesi sebagai pedagang.
Mereka bukan hanya datang untuk berbincang ringan, tetapi membawa harapan dan keresahan yang sudah terlalu lama dipendam melalui rapat koordinasi. Mereka adalah mama-mama pedagang yang sebelumnya berjualan di Pasar Boswezen, sebuah pasar yang sejak dua tahun lalu (September 2022) telah dibongkar.
Kini, mereka kembali bersuara. Menuntut agar pemerintah segera membangun pasar khusus untuk pedagang Papua di lokasi yang pernah menjadi rumah mereka: eks Pasar Boswezen. Atau sekitaran area ini dengan lokasi dan akses transportasi yang lebih memadai.
Yohanes Mambrasar, seorang pengacara muda dan aktivis Papua di Kota Sorong memandu jalannya pertemuan ini. Ia bersama para pegiat masyarakat dan aktivis Papua lainnya, selama dua tahun terakhir terlibat mengorganisir, mengadvokasi serta mendampingi gerakan mama-mama Pedagang Papua di area eks pasar Boswezen. Mereka menuntut perlunya pasar khusus bagi pedagang Papua.
Koordinator Pasar Pedagang Mama-Mama Papua Kota Sorong (P2MPKS), Elivina Duwith, juga ikut dalam pertemuan ini. Ia telah terlibat dalam perjuangan ini dengan semangat yang tak kenal lelah semenjak pasar Boswezen dibongkar. Suaranya penuh keyakinan saat ia mengungkapkan keluhan yang sudah lama mereka pendam.
“Kami membutuhkan pasar yang representatif, aman dan yang dapat mendukung kehidupan kami. Pasar Rufei yang dibangun pemerintah tidak memenuhi harapan kami. Selain itu, kami merasa terganggu oleh gangguan keamanan yang sering terjadi di sana,” ungkap Elivina dengan tegas.
Keinginan mereka sederhana: pasar yang aman dan dapat mendukung ekonomi mereka. Tetapi kenyataan yang dihadapi jauh dari harapan. Pasar Modern Rufei, yang disediakan pemerintah sebagai pengganti Pasar Boswezen, ternyata jauh dari ideal. Masalah keamanan menjadi salah satu tantangan utama yang mereka hadapi sehari-hari.
Tidak hanya itu, Mama Elivina juga menyoroti kenyataan bahwa Pasar Rufei tidak dilengkapi dengan fasilitas yang memadai untuk mendukung kenyamanan berjualan. “Kami tidak bisa berjualan dengan tenang. Ada banyak gangguan dari luar, dan barang dagangan kami seringkali tidak bisa terjual dengan baik. Kami selalu rugi!” tambahnya.
Di antara mereka, Mama Yuliana Rayar, seorang pedagang yang juga terlibat dalam pertemuan tersebut, menceritakan bagaimana kondisi yang dihadapi sekarang jauh berbeda dengan saat mereka masih berjualan di Pasar Boswezen. Pasar yang muncul atau didirkan secara swadaya oleh masyarakat pada sekitar tahun 1976.
“Dulu, kami jualan di Pasar Boswezen, para pedagang dari pulau-pulau dan perairan sekitar datang dengan perahu. Mereka sandar di darat, jualan mereka bisa langsung dibeli dan habis,” kenangnya. “Sekarang setelah pindah ke pasar Rufei, pembeli sangat sedikit yang datang. Kami benar-benar merasa terabaikan.”
Lebih lanjut, Mama Yuliana menjelaskan bahwa masalah transportasi menjadi kendala utama. “Dulu, pembeli datang dengan mudah. Taksi atau angkutan kota bisa langsung sandar di depan pasar. Tapi sekarang, di Pasar Rufei, taksi tidak bisa masuk ke dalam area pasar, sehingga pembeli yang datang sangat terbatas,” kata Yuliana prihatin.
Keadaan ini membuat para pedagang semakin kesulitan mencari nafkah, apalagi setelah pembongkaran Pasar Boswezen yang mengusik sumber pendapatan mereka. Tuntutan para pedagang ini bukan tanpa alasan. Berdasarkan data yang dihimpun, setelah Pasar Boswezen dibongkar pada September 2022, sekitar 500an mama-mama pedagang Papua terpaksa berpindah ke berbagai pasar di Kota Sorong.
Namun, tidak ada satu pun pasar yang benar-benar dapat menggantikan fungsi Pasar Boswezen, baik dari segi aksesibilitas maupun kenyamanan bagi pedagang maupun pembeli. Dalam kondisi ini, omzet mereka menurun drastis, dan kelangsungan hidup mereka pun terancam.
“Pasar Boswezen itu adalah tempat di mana kami bisa bertemu dengan pembeli dari berbagai tempat, termasuk yang datang dengan perahu dari luar kota. Barang dagangan kami cepat habis terjual. Kini, di Pasar Rufei, kami kesulitan, dan pendapatant kami berkurang,” kata Mama Erma Mayor, seorang pedagang lain yang turut hadir dalam rapat koordinasi tersebut.
Ia pun mengungkapkan bahwa selain masalah keamanan dan transportasi, para pedagang juga membutuhkan dukungan dari pemerintah dalam bentuk modal usaha agar dapat bangkit kembali. Mama Erma juga menyampaikan rasa kecewanya terhadap proses pembangunan Pasar Rufei yang menurutnya, tidak melibatkan mereka sebagai pedagang yang terdampak langsung. “Pembangunan Pasar Rufei dilakukan tanpa ada konsultasi dengan kami, para pedagang. Pemerintah hanya mengambil keputusan tanpa mendengar keluhan kami,” tegasnya.
Dalam pertemuan tersebut, mereka juga kembali menuntut agar Majelis Rakyat Papua (MRP) menepati janji mereka untuk memperjuangkan nasib mama-mama pedagang. Beberapa waktu lalu (10 Juni 2024), para pedagang sempat bertemu langsung (audiensi) dengan pimpinan beserta anggota MRP.
Mereka berharap agar lembaga representasi kultural orang Papua tersebut bisa lebih aktif dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat Papua, khususnya dalam ruang Otonomi Khusus. “Kami butuh dukungan dari MRP. Jangan biarkan kami terlupakan begitu saja,” ujar Mama Elivina Duwith dengan suara bergetar.
Kendala yang dihadapi mama-mama pedagang Papua ini mencerminkan ketimpangan sosial budaya, ekonomi dan politik yang masih ada dalam pengelolaan pasar tradisional di Papua. Pemerintah daerah dituntut untuk lebih peka terhadap kondisi ini, karena pasar bukan hanya sekadar tempat berjualan. Tapi juga merupakan bagian dari identitas dan ekonomi masyarakat asli Papua.
Para mama pedagang Papua kini menunggu dengan penuh harapan agar Gubernur Papua Barat Daya terpilih, Elisa Kambu dan Wali Kota Sorong terpilih, Septinus Lobat, dapat memberikan perhatian serius terhadap masalah ini. Mereka juga berharap agar Pemda Provinsi Papua Barat Daya segera merespons dan memenuhi permintaan mereka untuk membangun pasar yang layak, aman, representatif dan mendukung ekonomi mereka.
Sebagai langkah awal, mereka meminta agar lokasi eks Pasar Boswezen dijadikan tempat pembangunan pasar khusus bagi pedagang Papua. Selain itu, dukungan berupa modal usaha juga diharapkan dapat disalurkan untuk membantu mereka bangkit dari keterpurukan ekonomi paska pembongkaran Pasar Boswezen.
Tuntutan mereka semakin kuat, karena lebih dari sekadar mencari tempat berjualan, mama-mama pedagang Papua ini memperjuangkan hak mereka untuk bisa bertahan hidup dengan cara yang terhormat. Kini, bola ada di tangan Pemerintah Daerah yang dipimpin para elit Papua. Apakah mereka akan memenuhi harapan para mama pedagang yang telah menunggu begitu lama? Bisa dilihat nanti. (Julian Haganah Howay)