
Aktivis Papua dan Aceh saat melakukan aksi spontan mengangkat kertas bertuliskan Free Papua, Free Aceh dan Free Maluku pada pembukaan UNPFII 2025 di Markas Besar PBB, New York (Doc:WPLO)
New York, Amerika Serikat – Pagi itu Senin, 21 April 2025 pukul 11 siang waktu New York atau sekitar jam 11 malam waktu Papua, pembukaan acara United Nations Permanent Forum on Indigenous Issues (UNPFII) 2025 atau Forum Permanen PBB untuk Masyarakat Pribumi berlangsung.
Suasana ini digelar di tengah megahnya aula utama Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York. Pagi itu, Tadodaho Sid Hill, pimpinan Onondaga Nation, dengan khidmat membuka sidang dengan upacara adat mereka.
Suku Indian Onondaga berasal dari wilayah timur laut Amerika Utara, khususnya di sekitar Onondaga County, New York. Mereka adalah salah satu dari lima suku Indian yang membentuk Konfederasi Iroquois (Haudenosaunee).
Nenek moyang mereka, yang juga termasuk suku Iroquois lainnya, sudah menetap di wilayah tersebut jauh sebelum tahun 1450 M atau sebelum kedatangan orang Eropa. Saat ini, wilayah Bangsa Onondaga terletak di sekitar 7.300 hektar di selatan Syracuse, New York, di mana mereka mempertahankan kedaulatan mereka.
Sosok Tadodaho Sid Hill, sebagai kepala Bangsa Onondaga, ditunjuk membuka sidang UNPFII 2025 dengan upacara adat karena mereka adalah tuan rumah, penduduk asli New York. Sekertaris Jenderal (Sekjen) PBB, Antonio Guterres juga hadir dalam sesi pembukaan UNPFII 2025, beserta pejabat tinggi PBB lainnya.
Menteri Lingkungan Hidup Kolombia, Lena Yanina Estrada juga hadir. Forum tahunan ini biasanya dihadiri perwakilan organisasi masyarakat pribumi internasional dan perwakilan negara-negara anggota PBB. Momen ini serasa menyatukan semangat perwakilan masyarakat adat dari seluruh dunia yang hadir.
Saat sesi pembukaan selesai, sekelompok aktivis pembebasan dari Papua dan Aceh melancarkan aksi damai yang membuat delegasi Indonesia kelabakan, bahkan meradang. Mereka memegang kertas putih bertuliskan “Free Papua, Free Aceh dan Free Maluku” lalu berdiri di depan podium utama yang menjadi tempat berpidato sekjen PBB dan para pemimpin dunia.
Aksi spontanitas ini sempat direkam atau difoto serta mendapat perhatian para peserta yang hadir. Bahkan beberapa menit setelah video dan foto aksi mereka dibagikan, sempat beredar luas di media sosial. Tentu saja delegasi Indonesia yang juga hadir merasa terusik.
Dari video yang beredar, tampak saat sesi berikut dari acara UNPFII sedang berlangsung, seorang perempuan kulit hitam yang merupakan petugas keamanan gedung PBB berpakaian dinas warna abu-abu, mendatangi keempat aktivis Papua dan Aceh yang sedang duduk mengikuti jalannya sesi.
Dari potongan salah satu video yang beredar, terdengar suara dari orang yang merekam aksi ini. Dia menjelaskan bahwa “sekuriti PBB sedang menggerebek dan mengambil, that’s the Free Papua.” Lalu terlihat petugas itu mendatangi meja para aktivis Papua dan Aceh kemudian meminta mereka menyerahkan ketiga kertas bertuliskan “Free Papua, Free Aceh dan Free Maluku”.
Keempat aktivis itu terlihat tenang saat memberikan kertas-kertas itu. Di dalam video terdengar penjelasan dari petugas wanita ini bahwa peserta dilarang membawa sejumlah materi yang menjadi simbol atau tulisan yang dapat mengganggu jalannya forum PBB.
John Anari, satu dari keempat aktivis itu, berusaha menyanggah petugas wanita ini. Dia menjelaskan bahwa tidak ada aturan tertulis mengenai larangan membawa kertas berisi tulisan seperti itu. Setelah itu pertugas wanita ini membawa kertas-kertas itu lalu beranjak pergi.
Di video terlihat seorang pemuda Asia berbadan tegap, tinggi dan rapih sedang mengikuti petugas wanita PBB ini dari belakang. Dia adalah pria yang merekam aksi sekuriti wanita PBB itu saat menyegel ketiga kertas yang dianggap mengganggu Pemerintah Indonesia. Ternyata dia adalah Letkol Infantry Paulus Pandjaitan, seorang pria Indonesia yang merupakan anggota TNI AD di kesatuan Kopassus.
Paulus kini bertugas sebagai Asisten Penasehat Militer di Perwakilan Tetap Republik Indonesia di Amerika Serikat. Ia adalah anak sulung dari Jenderal Luhut Binsar Pandjaitan, menteri koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi di era Presiden Jokowi, yang sering diledekin dengan sebutan ‘menteri serba bisa’ dan Lord Luhut.
Aksi Spontan Yang Heroik
Gabungan video aksi spontanitas para aktivis Papua dan Aceh yang mengangkat kertas seruan pembebasan maupun video penyegelan ketiga kertas yang bertuliskan “Free Papua, Free Aceh dan Free Maluku” oleh wanita petugas keamanan gedung PBB pada acara UNPFII 2025, telah menjadi viral di media sosial.
Keempat aktivis Papua dan Aceh ini merupakan perwakilan dari West Papua Liberation Organization (WPLO) dan Acheh Sumatra National Liberation Front (ASNLF). Mereka adalah John Anari dan Marthen Goo, dari WPLO bersama perwakilan ASNLF: Tengku Fajri Krueng dan Muhammad Hanafiah. ASNLF merupakan bagian dari organisasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Kedua aktivis ASNLF tampak mengenakan pakaian adat Aceh. Sementara dua aktivis Papua John Anari selaku koordinator WPLO mengenakan batik Papua lengan panjang berwarna biru muda dan hiasan kepala mahkota burung Cenderawasih. Sementara Marthen Goo, mengenakan jas hitam rapih dan memakai topi.
Aksi heroik mereka dipuji oleh para aktivis, netizen dan komunitas publik yang mendukung gerakan pembebasan Papua, Aceh dan Maluku. Namun sebaliknya membuat perwakilan dan Pemerintah Indonesia di Jakarta murka.
Aksi mereka telah menyita perhatian banyak peserta seputar rasa sakit kolonialisme yang terjadi di Indonesia. Beberapa orang sempat memotret dan mengambil video momen itu. Tepuk tangan kecil, bisikan simpatik, dan lambaian solidaritas bermunculan. Namun di sisi lain, delegasi Indonesia yang hadir terlihat sangat kesal.
Menurut catatan Marthen Goo, aktivis WPLO yang hadir untuk pertama kali di forum ini, salah seorang utusan Indonesia yang diketahui merupakan anggota militer yang bertugas di kantor diplomatik, telah mendesak petugas keamanan PBB untuk segera menyita kertas-kertas itu.
“Itu dilakukan dengan suara tinggi, penuh amarah, di hadapan publik internasional,” tulis Marthen. Arogansi itu menurutnya, justru membuat lebih banyak mata tertuju, mempertanyakan: mengapa negara sebesar Indonesia begitu takut pada selembar kertas?
Aksi sederhana ini, menurut Goo, justru memperlihatkan kepada dunia bagaimana karakter Indonesia memperlakukan bangsa pribumi di wilayah jajahannya yang tergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Kalau di dalam gedung PBB saja sudah emosional dan otoriter seperti ini, apalagi di tanah jajahan seperti Papua, Aceh, dan Maluku? Dunia sekarang makin paham,” kata Marthen Goo.
Apa itu UNPFII dan Mengapa Penting?
UNPFII bukan sekadar forum biasa. Dibentuk pada tahun 2000 berdasarkan resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC), forum ini bertujuan memberikan tempat permanen bagi suara-suara masyarakat adat di seluruh dunia. Komunitas yang seringkali terpinggirkan dari kekuasaan politik, ekonomi, dan sosial.
Sidang UNPFII biasanya berlangsung selama 10 hari setiap tahun di New York, yang dimulai pada akhir bulan April dan berakhir di awal Mei. Dalam forum ini, biasanya digelar banyak side event yang membahas berbagai persoalan dan tantangan yang dihadapi sejumlah masyarakat pribumi di dunia.
Forum tahunan ini biasanya menghadirkan ratusan delegasi dari seluruh dunia untuk membahas hak-hak dasar, perlindungan budaya, akses terhadap tanah leluhur, dan hak atas sumber daya alam.
Bagi bangsa-bangsa pribumi yang masih menderita ketidakadilan, pelanggaran hak asasi manusia dan perampokan sumber daya alam karena kolonialisme modern seperti Papua, Aceh dan Maluku di Indonesia, event tahunan UNPFII menjadi satu dari sedikit panggung internasional di mana suara mereka bisa didengar secara resmi.
Sejarah panjang pengabaian dan perampasan hak membuat forum ini sangat berarti. Bagi masyarakat Onondaga di Amerika, Ainu di Jepang, Mapuche di Chili, sampai bangsa Papua di Pasifik, UNPFII adalah tempat menyuarakan perlawanan, memperjuangkan martabat, dan menuntut keadilan atas tanah leluhur mereka.
Tak lama setelah video aksi keempat aktivis Papua dan Aceh itu viral di media sosial, Kementerian Luar Negeri RI buru-buru menggelar konferensi pers. Juru bicara Kemlu, Rolliansyah Soemirat, menyebut para aktivis itu sebagai “orang-orang yang tidak bertanggung jawab” dan menuding mereka telah “menyalahgunakan forum”.
Namun banyak pihak di forum menilai pernyataan itu justru memperlihatkan kegagalan Indonesia memahami substansi masalah: bahwa kolonialisme internal atas bangsa Papua, Aceh, dan Maluku adalah masalah serius yang tak bisa ditutup-tutupi hanya dengan retorika nasionalisme sempit.
Bagi para pemerhati hak asasi manusia di PBB, kejadian ini hanyalah pengingat kecil bahwa, di balik diplomasi resmi, masih ada luka-luka kolonialisme yang menganga. Betapapun kerasnya Pemerintah Indonesia menekan dengan menggunakan segala sumber daya mereka, semangat bangsa-bangsa pribumi untuk merdeka dan hidup bermartabat tidak pernah padam.
Di akhir upacara pembukaan UNPFII 2025 yang sangat bersemarak di gedung markas PBB, Tadodaho Sid Hill, pimpinan Bangsa Onondaga yang merupakan salah satu suku asli Indian wilayah New York, mengingatkan dalam pidatonya:
“Masyarakat adat tidak pernah menyerah. Kami berjuang untuk tanah, untuk air, untuk hidup, dan untuk anak cucu kita.”
Di tengah gemuruh tepuk tangan, aktivis Papua dan Aceh tersenyum dalam diam. Mengetahui bahwa satu langkah kecil mereka hari ini telah membunyikan lonceng solidaritas yang menggema jauh melampaui tembok-tembok megah PBB.
Dunia pun melihat: meski hanya tiga lembar kertas, keberanian itu cukup untuk mengguncang istana kekuasaan. (Julian Haganah Howay)