
Perampasan lahan dan deforestasi untuk Proyek Stategis Nasiomal (PSN) di Merauke dan Papua secara keseluruhan telah menciptakan persoalan ekologis dan kemanusiaan (Doc Photo: Ulet Infansasti/Greenpeace Indonesia)
“PAPUA bukan tanah kosong! Anim-Ha bukan tanah kosong!” adalah seruan lantang yang terus diulang oleh masyarakat adat Merauke dalam melawan narasi negara dan korporasi yang mereduksi tanah leluhur mereka sebagai lahan kosong siap eksploitasi.
Seruan ini bukan sekadar simbol perlawanan, melainkan manifestasi dari identitas, sejarah, dan hak-hak masyarakat adat Papua yang selama puluhan tahun diabaikan. Di balik tanah, tersimpan relasi sosial, spiritualitas, dan kedaulatan budaya yang tak dapat digantikan oleh nilai ekonomi.
Tulisan ini berusaha menjawab bagaimana hukum nasional gagal melindungi hak-hak masyarakat adat Papua, bagaimana proyek pembangunan dan transmigrasi berdampak pada pemusnahan identitas mereka, serta bagaimana militerisme memperkuat kolonialisme internal di Papua.
Penelusuran ini akan mengacu pada kerangka hukum, literatur akademik, dan data empiris yang mengungkap wajah penindasan struktural terhadap rakyat Papua.
Tanah, Hukum dan Masyarakat Adat
Di Papua, marga bukan sekadar identitas kekerabatan; ia adalah penanda legal dan spiritual atas hak kepemilikan tanah ulayat. Tanah dalam pandangan masyarakat adat bukan komoditas, melainkan bagian integral dari kehidupan.
Hal ini sejatinya telah diakomodasi oleh negara melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). UUPA menghapus dualisme hukum kolonial, mengakui hak ulayat, dan menjamin prinsip keadilan agraria.
Dalam Pasal 3 UUPA, dinyatakan bahwa “pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional…”
Namun, di Papua, hukum tersebut sering kali tidak dijalankan. Sejumlah studi mengungkap bahwa pendekatan negara terhadap Papua justru menggunakan logika kolonialisme, di mana tanah-tanah adat dipandang sebagai aset ekonomi untuk akumulasi modal, bukan ruang hidup masyarakat (Ballard, 2002; Munro, 2009).
Hal ini diperparah oleh lemahnya implementasi hukum dan manipulasi dalam pengukuran dan sertifikasi tanah yang menguntungkan investor dan negara.
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 juga secara eksplisit menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan.
Namun, dalam praktiknya, prinsip ini dikalahkan oleh kebijakan ekonomi-politik seperti Proyek Strategis Nasional (PSN), yang mengorbankan dua juta hektare hutan Merauke untuk proyek food estate, dengan mengabaikan hak masyarakat adat Marind.
Kolonialisme Transmigrasi, Pemusnahan Indentitas
Transmigrasi yang awalnya diluncurkan sebagai kebijakan pemerataan pembangunan telah berubah menjadi bentuk kolonialisme internal yang paling sistematis terhadap orang asli Papua (OAP). Sejak awal 1960-an, terutama pasca-Trikora 1961 dan integrasi Papua ke Indonesia melalui New York Agreement (1962), program transmigrasi digunakan sebagai alat untuk mengubah demografi dan melemahkan dominasi masyarakat adat.
Data Departemen Transmigrasi menyebutkan bahwa pada tahun 1964, sekitar 78.000 kepala keluarga dipindahkan ke wilayah Papua (Elmslie & Webb-Gannon, 2013). Tanah-tanah adat dirampas untuk perumahan dan pertanian transmigran, sementara masyarakat adat terdorong keluar dari ruang hidupnya.
Hal ini menyebabkan proses marginalisasi, di mana masyarakat adat tersingkir ke pinggiran kota dan kehilangan akses terhadap hutan, lahan, dan sumber penghidupan.
Lebih dari sekadar perpindahan fisik, transmigrasi telah menciptakan keretakan sosial dan asimilasi paksa. Terjadi proses pemiskinan kultural melalui penghancuran situs-situs ritual, penebangan hutan untuk infrastruktur, serta penyeragaman nilai-nilai ekonomi modern yang tidak kompatibel dengan kosmologi lokal.
Perkawinan campuran yang didorong secara sistemik menjadi instrumen lain dalam mengaburkan garis identitas dan eksistensi rasial orang Papua.
Ekstraktivisme dan Kekerasan Ekologis
Papua merupakan tanah kaya yang terus dijarah. Proyek-proyek besar seperti Freeport di Timika dan pengembangan perkebunan kelapa sawit di Merauke, Boven Digoel, dan Keerom telah mengubah bentang ekologis dan menimbulkan krisis multi-dimensi.
Penebangan hutan, pencemaran sungai, dan perubahan iklim lokal berdampak langsung pada kehidupan masyarakat yang bergantung pada alam.
Menurut laporan WALHI (2020), ekspansi perkebunan sawit di Papua telah mencapai lebih dari 2,4 juta hektare. Perusahaan-perusahaan yang beroperasi sering kali membuang limbah ke sungai dan merusak sumber air masyarakat.
Dalam konsep “ekosida”, ini merupakan bentuk kekerasan ekologis yang tak hanya menghancurkan lingkungan, tetapi juga menghancurkan sistem sosial, spiritual, dan ekonomi masyarakat adat (Nixon, 2011).
Militerisme dan Politik Pengamanan
Ketika masyarakat adat menolak proyek pembangunan atau mempertahankan tanahnya, negara menjawabnya dengan kekuatan militer. Majelis Rakyat Papua (MRP) mencatat 15 operasi militer besar dari tahun 1963 hingga 2004.
Operasi-operasi seperti Wisnumurti, Sapu Bersih, dan Galak II dilakukan untuk membasmi gerakan perlawanan, namun justru menimbulkan trauma dan pengungsian massal (Koalisi Keadilan & Keutuhan Ciptaan, 2009).
Dalam dekade terakhir, kehadiran militer semakin meningkat. Setiap tahun sejak 2018, lebih dari 5.000 pasukan organik dan non-organik dikirim ke Papua, belum termasuk keberadaan batalyon-batalyon infanteri baru seperti Yonif 801 hingga Yonif 805.
Justifikasi yang digunakan adalah stabilitas keamanan dan pengamanan proyek nasional, tetapi praktik di lapangan menunjukkan pembungkaman ruang sipil dan penindasan masyarakat adat.
Militerisme dalam konteks Papua menjadi bagian dari logika ekstraktif: tentara tidak sekadar alat negara, tetapi mitra dalam menjamin kelangsungan eksploitasi sumber daya. Dalam studi antropologi politik, ini disebut sebagai bentuk “sekuritisasi pembangunan” (Li, 2014), di mana pembangunan menjadi proyek represi, bukan pembebasan.
Dengan demikian, menyebut Papua sebagai “tanah kosong” bukan hanya kesalahan faktual, tetapi kejahatan epistemik yang berupaya menghapus keberadaan masyarakat adat dari narasi kenegaraan.
Masyarakat adat Papua telah hidup, merawat, dan menjaga tanahnya jauh sebelum republik ini berdiri. Hukum nasional seharusnya hadir untuk menjamin hak mereka, bukan merasionalisasi perampasan.
Langkah ke depan tidak cukup hanya dengan pengakuan formal, tetapi juga harus mencakup restitusi tanah, perlindungan hukum yang konkret, penghentian militerisasi, serta penghormatan atas pengetahuan dan sistem sosial masyarakat adat.
Sejarah panjang penindasan di Papua menuntut keberanian negara untuk mengakui dan memperbaiki kesalahan struktural. Jika tidak, Papua akan terus menjadi luka abadi dalam tubuh republik.
(*) Varra Iyaba, adalah penulis artikel ini. Ia merupakan aktivis Papua yang mulai menggeluti dunia literasi dan sastra.
Editor : Julian Haganah Howay