
Pulau Manuran di Distrik Waigeo, Raja Ampat, mengalami deforestasi dan pengerukan material tambang nikel. Pulau ini memiliki luas sekitar 746,86 hektar dan dikenal sebagai lokasi penambangan nikel oleh PT Anugerah Surya Pratama (doc : Auriga Nusantara/AP).
Raja Ampat, Papua Barat Daya – Malam itu, di tengah gegap gempita perayaan ulang tahun ke-22 Kabupaten Raja Ampat, ribuan orang memadati Pantai Waisai Torang Cinta (WTC). Suara musik mengalun keras, lampu panggung menyilaukan, dan tepuk tangan mengiringi penampilan para pengisi acara.
Namun di antara euforia yang membahana, dua sosok muda berdiri diam di tengah kerumunan, mengangkat pamflet sederhana bertuliskan pesan yang mencolok: “Save Raja Ampat Stop Nikel” dan “Cabut IUP Nikel PT Mulia Raymond Perkasa di Manyaifun dan Batang Pele.”
Mereka tak berniat merusak suasana. Namun aksi diam itu adalah suara hati yang memekik. Di tengah perayaan, mereka membawa kabar buruk yang selama ini nyaris tenggelam di balik narasi pariwisata bahari dan ekonomi kreatif: Raja Ampat yang dikenal sebagai surga biodiversitas laut dunia kini berada di ambang kehancuran.
Raja Ampat bukan sekadar destinasi. Ia adalah rumah bagi lebih dari 600 jenis karang, 1.700 spesies ikan, dan habitat langka seperti penyu sisik serta pari manta karang (Mobula alfredi). Namun, ancaman deforestasi dan tambang nikel kini membayang-bayangi pulau-pulau kecilnya, termasuk Manyaifun dan Batang Pele.
Lubang-lubang besar mulai menganga. Pohon-pohon tropis ditebang. Tanah coklat kemerahan mengalir ke laut saat hujan. Sedimen menutupi terumbu karang, mengurangi cahaya matahari, dan menghentikan fotosintesis alga yang menjadi sumber makanan penting di ekosistem laut.
Ini bukan sekadar kerusakan, tapi ancaman sistemik terhadap keberlangsungan hidup biota laut dan masyarakat pesisir. Dalam lima tahun terakhir, wilayah tambang nikel di Raja Ampat bertambah 494 hektar.
Ironisnya, perluasan ini terus terjadi meski Mahkamah Konstitusi sudah mengeluarkan putusan pada Maret 2024 bahwa pulau-pulau kecil harus dilindungi dari aktivitas ekstraktif. Sayangnya, izin eksploitasi tetap dikeluarkan, mengabaikan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perlindungan Pulau-Pulau Kecil yang jelas melarang kegiatan tambang di wilayah seperti Manyaifun dan Batang Pele.
Suara dari Manyaifun
Ronisel Mambrasar, seorang pemuda dari Kampung Manyaifun, berdiri di garis depan penolakan. “Kami tidak menolak pembangunan, tapi tolong jangan rusak rumah kami,” tegasnya.
Menurutnya, narasi pemerintah tentang sektor unggulan seperti pariwisata dan perikanan akan menjadi omong kosong jika tidak ada tindakan nyata untuk menjaga keanekaragaman hayati. Ia menjelaskan bahwa aktivitas tambang akan membawa lebih dari sekadar kerusakan ekosistem.
“Kami khawatir akan pencemaran logam berat, pencemaran udara, rusaknya hutan, bahkan penggusuran lahan pertanian dan wilayah tangkap nelayan,” ujarnya.
Lebih dari itu, Ronisel menilai kehadiran tambang nikel dapat menyebabkan privatisasi wilayah pesisir, mempersulit akses masyarakat untuk melaut, dan memicu konflik sosial. “Ruang hidup kami semakin sempit,” ungkapnya.
Bersama pemuda kampung, Gerakan Malamoi juga turut menyuarakan penolakan. Fiktor Kafiyu, juru kampanye gerakan tersebut, menyampaikan bahwa kerusakan ekosistem bukanlah isapan jempol. “Dunia mengagumi Raja Ampat karena keindahannya, tapi di balik itu, surga ini mulai berubah menjadi ladang bisnis,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa masyarakat adat telah hidup harmonis dengan alam selama ribuan tahun. Mereka bukan hanya pelindung tradisi, tapi juga penjaga ekosistem. Namun kini, mereka harus menghadapi tekanan dari aktivitas tambang yang tidak hanya mencemari laut dan menggunduli hutan, tetapi juga mengubah tatanan sosial.
“Negara-negara maju menikmati kendaraan listrik dari nikel, sementara kami di Papua harus menanggung limbah dan kerusakan hingga anak cucu kami.” Tambah Fiktor. Ia menyebutkan bahwa PT Mulia Raymond Perkasa telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan seluas 2.194 hektar di pulau Manyaifun dan Batang Pele.
Luas wilayah itu tidak sebanding dengan daya tahan ekosistem pulau-pulau kecil yang rapuh. Aktivitas tambang dapat menyebabkan perairan tercemar, mata pencaharian nelayan terganggu, dan bahkan terjadi konflik horizontal.
Dilema Pembangunan: Investasi atau Konservasi?
Raja Ampat kini berada di persimpangan sejarah. Di satu sisi, pemerintah menggadang-gadang daerah ini sebagai destinasi wisata unggulan dan jantung segitiga karang dunia.
Namun di sisi lain, kebijakan ekstraktif terus diberi karpet merah, membuka jalan bagi investor tambang nikel. “Jika ini terus dibiarkan, Raja Ampat bukan lagi jantung konservasi, tapi jantung eksploitasi,” kata Fiktor tajam.
Kerusakan lingkungan bukan hanya soal kehilangan biota laut. Ini soal kehidupan masyarakat pesisir, tentang bagaimana akses melaut semakin sulit, tangkapan ikan menurun, biaya hidup meningkat, dan anak-anak kehilangan warisan alam yang seharusnya dijaga.
Kini, di usia ke-22, Raja Ampat menghadapi pertanyaan mendasar: akan menjadi pusat konservasi atau korban eksploitasi? Ronisel dan Fiktor sepakat bahwa pemerintah harus bertindak tegas.
Bukan hanya soal mencabut izin tambang, tapi juga menegakkan hukum yang telah ada. UU No. 1 Tahun 2014 bukan sekadar dokumen mati. Itu adalah benteng terakhir perlindungan bagi pulau-pulau kecil seperti Manyaifun dan Batang Pele.
Raja Ampat masih bisa diselamatkan. Tapi waktu tidak banyak. Setiap lubang tambang yang dibuka, setiap hutan yang ditebang, dan setiap sedimentasi yang mengendap di laut, adalah pengingat bahwa kita sedang berpacu melawan kehancuran.
Di malam ulang tahun Raja Ampat yang ke-22 itu, dua pamflet sederhana yang diangkat diam-diam di tengah sorotan lampu panggung adalah suara paling jujur yang perlu kita dengarkan. Jika tambang nikel terus berjalan, surga bahari Raja Ampat hanya akan tinggal nama. (Julian Haganah Howay)