PADA 20 Maret 2025, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Perubahan ini memperluas peran TNI dalam operasi militer selain perang, termasuk penugasan di lembaga sipil dan pengamanan investasi nasional.
Namun, implementasi kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran terkait pelanggaran hak asasi manusia dan meningkatnya ketegangan di Papua. Revisi UU TNI mencakup beberapa poin penting:
Pertama, penambahan usia dinas keprajuritan. Bintara dan tamtama dapat bertugas hingga usia 58 tahun, sementara perwira hingga 60 tahun. Kedua, penempatan prajurit di lembaga sipil. Prajurit aktif diperkenankan menduduki jabatan di 16 kementerian/lembaga, termasuk Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, dan Badan Narkotika Nasional.
Ketiga, peningkatan peran dalam pengamanan investasi. TNI diberi tugas untuk mengamankan proyek-proyek strategis nasional (PSN) di beberapa daerah di Indonesia, termasuk di Tanah Papua.
Perubahan ini bertujuan untuk menyesuaikan peran TNI dengan dinamika ancaman keamanan dan kebutuhan pembangunan nasional. Namun, implementasinya menimbulkan kontroversi, terutama terkait dengan potensi militerisasi dalam ranah sipil dan dampaknya terhadap masyarakat adat di Papua.
Peningkatan Ketegangan dan Pelanggaran HAM
Sejak pengesahan revisi UU TNI, situasi di Papua semakin memanas. Pada awal Februari 2025, operasi militer besar-besaran dilaksanakan di Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah, melibatkan pengerahan personel TNI/Polri dalam jumlah besar dan penggunaan helikopter. Beberapa distrik seperti Ilaga, Sinak, Kamburu, Agandugume, Timobut, Baksime, Gagama, Komapaga, dan Beoga menjadi lokasi operasi militer.
Selama operasi, pos-pos militer didirikan tanpa izin di area sensitif, termasuk gereja di Kampung Timobut. Akibatnya, banyak warga sipil mengungsi ke daerah lain seperti Sinak, Nabire, Timika, dan Jayapura. Selain itu, terdapat laporan mengenai pelanggaran hak asasi manusia (HAM), termasuk pembunuhan, pemerkosaan, dan perampasan tanah adat oleh aparat TNI/Polri. Personil TNI/Polri juga diduga memiliki saham di perusahaan-perusahaan investasi yang beroperasi di Papua. Ini tentu menambah kompleksitas hubungan antara militer dan bisnis di wilayah tersebut.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Papua mencatat bahwa pada Maret 2024, terdapat tiga warga sipil yang menjadi korban penyiksaan oleh prajurit TNI di Kabupaten Puncak. Penyiksaan tersebut dilakukan oleh prajurit Batalion Infanteri Raider 300/Braja Wijaya yang sebelumnya bertugas di Papua dan telah dipulangkan ke Kodam III/Siliwangi. Komnas HAM menilai tindakan tersebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang serius.
Respons Masyarakat dan Tindakan yang Diharapkan
Kehadiran militer yang meningkat dan dugaan pelanggaran hak asasi manusia memicu protes dari mahasiswa dan masyarakat sipil. Pada 10 April 2025, mahasiswa dari berbagai universitas di Papua Tengah mengadakan aksi untuk menuntut dua hal utama sebagai berikut : Pertama, penarikan kembali pasukan militer dari Tanah Papua, khususnya di Kabupaten Puncak.
Kedua, pengusutan dan penindakan terhadap pelaku pembunuhan, pemerkosaan, dan penyiksaan terhadap warga sipil oleh aparat TNI/Polri. Dengan demikian, penting bagi pemerintah pusat dan aparat keamanan untuk menanggapi tuntutan ini dengan serius, memastikan penegakan hukum yang adil, dan melibatkan masyarakat dalam proses penyelesaian konflik.
Dialog antara pemerintah, militer, dan masyarakat adat harus ditingkatkan untuk mencapai penyelesaian damai dan menghindari eskalasi lebih lanjut. Ini dimaksudkan untuk menghindari pengungsian masyarakat secara besar-besaran dan dampak buruknya.
Pengesahan revisi UU TNI membawa implikasi signifikan terhadap struktur keamanan dan hubungan sipil-militer di Indonesia, terutama di wilayah Papua. Penting untuk memastikan bahwa perubahan kebijakan ini tidak mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Pemantauan independen dan transparan terhadap aktivitas militer di Tanah Papua diperlukan untuk mencegah pelanggaran lebih lanjut. Selain itu perlu memastikan bahwa operasi militer tidak mengorbankan warga sipil.
(*) Yones Magai adalah penulis artikel ini. Ia adalah aktivis Forum Independen Mahasiswa West Papua (FIM-WP).